BOGOR - Pian (40), warga Gang Kelor yang tinggal di sebuah rumah berukuran tidak lebih dari 17 meter persegi dipinggiran Sungai Cisadane, yang tersembunyi dibawah rumah-rumah warga lainnya dan dikelilingi oleh rimbunan pohon serta ilalang. Merupakan salah satu warga Gang Kelor khususnya di RT 04 RW 10 yang memiliki keadaan ekonomi dibawah rata-rata.
Pian bersama Istri dan ketiga anak nya tinggal dirumah didekat Sungai Cisadane sejak 12 tahun yang lalu. Rumah yang dari luarnya saja sudah terlihat tak kokoh, dan ditambah lagi dengan  adanya botol-botol bekas yang berserakan di berbagai sudut rumahnya.
"Rumah ini sebenernya rumahnya adik, saya hanya menempati saja. Saya kan rantau dari Lampung, jadi ke Bogor belum tau mau tinggal dimana. Alhamdulillah ada rumah ini, walaupun keadaannya hanya seperti ini, masih bisa untuk tempat berteduh. Awal datang ke Bogor belum menikah, hanya untuk kerja. lalu lama-lama ketemu lah Ibu dan menikah," ujar Pian ketika ditemui dirumahnya, Minggu (17/03).
Sebuah rumah dengan 1 kamar, dapur dan ruang tengah yang hanya dipetak dengan sebuah papan seadanya dan kamar dengan sebuah kain yang terbuat dari spanduk bekas sebagai pintunya. Tidak ada Kamar mandi, atau TV sebagai hiburan, pun radio kuno.
"Kalau mandi kita di WC mushola, nyuci baju juga. Kadang di Sungai, anak-anak sambil main air. Ya, hiburan anak-anak cuma main di sungai, sudah bikin mereka senang," tutur Otih (34), Istri Pian sambil menggendong anak bungsunya yang sedang menangis.
Pian dan Otih dikaruniai tiga orang anak yang masih kecil-kecil, dua orang anak perempuan dan satu laki-laki.
"Anak yang pertama ini namanya Robbuna Mili Astuti kelas 4 SD, yang kedua ini namanya Zahra Novi Astuti masih sekolah PAUD, ini yang nangis terus yang ketiga namanya Ahmad Zohari belum sekolah masih 2 tahun umurnya," tambah Otih memperkenalkannya sambil menunjukkan anak-anaknya.
"Dulu setiap hari markir, sekarang cuma dua hari sekali aja. Perhari rata-rata dapet 40 ribu gimana ramainya aja. Karena sekarang saya sebulan cuma kerja 15 hari, berarti perbulannya ya dapet 600 ribu. Tapi ya itu jarang-jarang soalnya kan gimana ramainya, lahan parkirnya juga bagi-bagi sama yang lain. Belum kalau suka ada premannya yang minta jatah, biasa sih ya setiap tempat pasti ada premannya. Jadi kita harus kasih jatah, istilahnya keamanan," ungkap Pian.
Penghasilan dari menjadi tukang parkir yang tak seberapa, membuat nya mencari tambahan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarga sehari-hari. Dari mulai mencari lahan parkir lain, menjadi tukang sapu jalanan, hingga mencari botol bekas.
"Saya juga cari tempat lain yang sekiranya bisa saya jadiin lahan buat markir. Suka di pom bensin di Jalan Sumeru, ya pokoknya tempat yang diperbolehkan saya markir dan belum ada orang disitu. Saya juga suka bersih-bersih nyapu jalanan abis subuh di depan Gang Kelor, gak ada bayaran tetapnya memang kalau itu, paling cuma sekedarnya aja dari anggota TNI di pusdiklat yang di depan Gang Kelor tuh," tambah Pian, pria yang memiliki logat khas Lampung itu.
Jika memiliki waktu kosong, Pian juga mengisinya dengan mencari botol bekas dan rongsokan lainnya disekitar Gang Kelor dan jalan yang dilaluinya. Hal itu Ia lakukan tak lain adalah untuk menambah penghasilannya. Walaupun hasilnya tak seberapa, tapi berapa pun uang yang didapatnya sangat berarti untuknya dan keluarga.
Walaupun sudah 12 tahun tinggal di Gang Kelor, di kesehariannya, keluarga Pian dapat dibilang kurang bersosialisasi dengan tetangga dan warga sekitar rumahnya. Kesibukannya dalam mencari nafkah menjadi alasan Pian. Otih, Istrinya pun jarang melakukan komunikasi dengan para tetangganya. Sifatnya yang memang pendiam dan harus membawa ketiga anaknya jika kemana-mana juga menjadi alasannya.
"Jarang keluar rumah ya Istrinya, apalagi Pak Piannya kan dari subuh udah pergi kerja. Memang Pendiem keluarganya tuh. Tapi kalau ada kegiatan warga, kaya kerja bakti suka pada ikut keluar rumah dan bantu. Atau acara perlombaan kaya 17 Agustus gitu, anak-anaknya suka diajak ikut lomba juga walaupun pada malu karena jarang main sama anak lain," ujar Firdaus, tetangga yang rumahnya tak jauh dari rumah Pian ketika di temui di rumahnya, Minggu (17/03).
Begitu pun pendapat dari Rudi, selaku Ketua RT 04 Rw 10 Gang Kelor mengenai bagaimana kehidupan dan keadaan ekonomi warganya.
"Di RT 04 RW 10 ini memang ada beberapa warga yang punya keadaan ekonomi yang bisa dibilang sangat kurang ya, sekitar 5 kepala keluarga. Mereka ini yang sangat intensif diberi berbagai bantuan dan santunan baik dari pemerintah maupun swadaya warga. Salah satunya Pak Pian dan keluarga ini," ujar Rudi ketika di temui saat kegiatan kerja bakti mingguan warga RT 04 RW 10, Minggu (17/03).
Bantuan dari pemerintah tersebut seperti RASKIN (Beras untuk Rumah Tangga Miskin), ataupun bantuan untuk anak sekolah yaitu KIP (Kartu Indonesia Pintar).
"Dari KIP itu gak tentu dapetnya ya, tahun ini agak besar Rp. 1.300.000 dapetnya. Tapi dua kali ambil, yang pertama 1 juta, terus kemaren ambil lagi dapet 300 ribu," ujar Pian sambil berbicara mengarah kepada istrinya untuk memastikan.
Baik keluarga Pian dan warga lain yang keadaan ekonominya kurang, juga mendapatkan bantuan yang berasal dari Majelis Ta'lim di Masjid Nurul Akbar, maupun Ibu-Ibu pengajian Gang Kelor RW 10.
"Kalau yang dari Masjid Nurul Akbar ini pemberian bantuannya 1 bulan sekali, bantuannya itu dari sumbangan Ibu-Ibu pengajian aja, dan juga ada donatur nya sih yang memang sudah rutin memberi. Kalau yang dari pengajian RW 10 itu tidak banyak, hanya sedikit dari Ibu-Ibu pengajian saja. Ya istilahnya hanya untuk nambah uang jajan anak-anaknya," tutur Lia selaku humas Majlis Ta'lim Masjid Nurul Akbar Gang Kelor, sekaligus anggota pengajian RW 10, ketika ditemui dirumahnya pada Minggu (17/03). Â
Bantuan-bantuan yang diterima keluarga Pian tersebut sejatinya, sangatlah berarti untuk membantu memenuhi segala kebutuhannya. Tak harus menunggu bantuan dari pemerintah, uluran tangan warga dan bantaun dari tetangga sangatlah diperlukan untuk membantu warga yang tidak berkecukupan. Serta sebagai bentuk menjalin hubungan yang baik antar tetangga, agar tidak adanya kesenjangan sosial yang terjadi akibat perbedaan tingkat ekonomi.
Penulis : Nisfa Siti Elfianti Hidayah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI