Seragam putih merah pertama yang ku gunakan merupakan awal perjuanganku mengenayam pendidikan. Tahun ajaran baru 1992/1993 aku didaftarkan oleh bapakku untuk belajar menulis huruf A-Z dan membaca di Sekolah Dasar Negeri 51 Semayong.Â
Sebelumnya, kedua Abangku juga sekolah di lembaga yang sama. Ketika ku masuk, abangku yang tua (along), Sujiman, telah kelas 6 SD, dan abangku yang kedua (angah), Wahyudi naik kelas 3.
Pagi itu, aku berjalan beriringan dengan kedua abangku untuk menuju Sekolah dihari pertama itu. Kaki yang tanpa alas, berjalan di tanah semayong, tanganku dipegang erat oleh abang kedua ku, Wahyudi, menuntunku hingga tiba di sekolah.Â
Aku memang tak merasa asing dengan wajah sekolah SD satu-satunya di kampong ku itu, karena sebelum aku resmi menjadi murid di sekolah itu, aku sering bermain di halaman sekolah. Semua dinding di sekolah itu dinding papan, dengan coreng moreng oleh murid murid nakal, lempengan tanah di dinding sekolah itu. Hah, jorok sekali.
Tiba di sekolah, para murid baru dikumpulkan di depan halaman sekolah, sekitar 80-an orang. Berbaris ala bocah dengan kelakuan nya masing. Kami pun dibagi menjadi 2 kelas. Aku masuk di Kelas 1 A, dengan wali kelas Ibu Guru Sulastri.Â
"Jepriadi, Kasman, Wahdi, Jasimah, Gusniarti, dan sederet nama yang disebutkan, ikuti ibu yang cantik itu, kata Bapak Kepala Sekolah, Suhaimi sambil menujuk wali kelas ibu yang akhirnya kami kenal ibu Sulastri.
Sambil berlari kami pun berebut untuk masuk ke kelas yang telah di tunjukkan oleh kepala sekolah. Tanpa sadar, wali kelas pun kami lewati dengan lajunya.Â
Kami berlari seakan berlomba siapa yang dulu masuk kelas ialah yang akan menjadi pemenang di kelas nanti. Umurku pada saat masuk sekolah sudah 7 tahun. Karena pada waktu itu, umur anak yang belum mencapai 7 tahun tak dibolehkan untuk sekolah. Tak tahu apa alas an sekolah membuat keputusan seperti itu.
Aku mengambil kursi diposisi paling depan sebelah kanan (sebelah kiri guru) bersama temanku, kasman. Â Pilihanku memang tak memiliki alasan apa-apa, hanya karena posisi itu paling dekat dengan pintu, sehingga aku bisa melihat pemandangan diluar kelas ketika aku bosan mendengarkan penjelasan guru nanti. Tak lama di dalam kelas, rasanya aku ingin mengeluarkan air dari kemaluanku.
Dengan tergagap aku menyampaikan keinginanku kepada ibu guru.
Bu, saya mau permisi buang air kecil! Selorohku.... Seraya bergegas dan terseok seok menahan akan keluarnya air mancur...