Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung 1969, Kesuraman dan Gemerlap Perayaan Tahun Baru

15 Januari 2025   00:02 Diperbarui: 15 Januari 2025   00:02 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan Severine bukan uang, tetapi petualangan seksualitas akibat trauma masa kecilnya. Padahal suaminya dokter, tampan dan berbadan atletis. Sementara pria yang mengencaninya jauh dari suaminnya. Suatu ketika,  dia punya masalah besar karena suatu ketika salah seorang pelanggannya adalah gangster.

Minggu terakhir Desember 1969 adalah minggu libur pada masa itu,  Hari raya Idul Fitri dan Hari Natal berdekatan. Tempat rekreasi ramai. Pikiran Rakjat edisi 23 Desember 1969 melaporkan sekira 40 ribu pengunjung menyerbu Pantai Pangandaran. Mereka datang dari Jakarta, Bandung dan Tasikmalaya.  Para wisatawan berdansa, berjingkrak-jingkrak dan bahkan terjaid perkelahian.

Ada juga yang melakukan kegiatan Cross Country  dari Bandung tengah malam hingga ke Lembang pukul 5 pagi. Rutenya Jalan Merdeka-Djuanda-PLN Dago-Pasir Muntjang Medu-Gunung Batu-Cikadang- hingga berakhir di Alun-alun Lembang.

Pada Desember 1969 juga diwarnai kesuraman. Munculnya prostitusi baru yang disebut Gongli (Bagong Lieur)  yang beroperasi di jalan dengan mobilitas yang tinggi. Sejumlah referensi menyebut Gongli ini sebetulnya anak-anak sekolah yang terjun ke pelacuran, tetapi juga seks bebas.

Baca: Fandi Hutari Virus Kaum Hipies, Historia 28 April 2018.

Gongli membuat para pelacur yang menetap tersingkir  dari kompleks mangkal di Tegallega, Kiaracondong, Kebon Tangkil ke Bogor, Jakarta, karena tamu-tamunya sepi dan hidup makin berat.

Sementara di sisi lain proyek-proyek pembangunan di Kota Bandung terbengkalai karena naiknya harga bahan bangunan. Pikiran Rakjat 4 Desember 1969 melaporkan  harga kayu kelas 1 berkisar Rp12.000 hingga Rp15.000 per  meter kubik.  Batu merah dijual Rp3 hingga Rp5 per biji.  Genteng Jatiwangi dihargai Rp15 dan genteng Sekepeuris Rp5-Rp7,50, semen per zak Rp600 merupakan contoh mahalnya harga bahan bangunan.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun