Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Bandung Artikel Utama

Bandung atau Malang (Kota Batu)? Ini Hitung-hitungan Slow Living

26 Desember 2024   19:24 Diperbarui: 30 Desember 2024   12:59 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Kota Bandung-Foto: Irvan Sjafari

Bandung dan Malang punya kesamaan menjadi kota pelajar maupun kota yang dinilai berhawa sejuk, kuliner juga baik, tetapi bagaimana dengan biaya hidup? 

Sejak masih menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra UI (sekarang FIB UI) saya hanya melirik dua kota untuk tempat tinggal terakhir, yang saya anggap sebagai tempat yang nyaman dan sudah saya pelajari sejarah dan potensinya untuk apa yang bisa dilakukan. Kedua kota itu adalah Bandung di Jawa Barat dan Malang di Jawa Timur.

Belakangan yang disebut Malang bisa jadi Kota Batu, sementara Bandung itu bisa jadi Lembang atau Ciwidey. Belakangan saya tahu bahwa yang disebut nyaman itu adalah slow living. 

Salah satu alasan utamanya mirip dengan apa yang diungkapkan Jujun Juanaedia untuk Bandung yaitu dikelilingi panorama alam yang memesonakan dan tempat untuk healing yang baik.

Begitu juga dengan bangunan bersejarah yang bisa menjadi slow living menjadi romantis historis dan aneka macam kuliner. Alasan utama juga berlaku untuk Malang. Tipe kulinernya memang berbeda, tetapi polanya sama.

Kedua kota juga sama-sama ada tempat untuk turis backpacker maupun premium. Kedua kota punya hotel tua yang jadi ikon, Bandung punya Savoy Homann, Grand Preanger, Malang punya Hotel Pelangi, Splendid Inn.

Ruang Terbuka Hijau Bandung masih baik walau kurang memadai dari persyaratan hidup sebuah kota yaitu 12 persen, sementara Malang lebih baik 17 persenan. Sementara persyaratan ideal adalah 30 persen.

Agak sukar dikejar kedua kota, betapa hebat pun pemerintah kota masing-masing menggenjot RTH. Bandung saya prediksi bisa naik ke 15 persen sudah bagus dan Malang mencapai 20 persen.

Hanya saja Bandung lebih crowded dengan perbandingan jumlah kendaraan dan populasi pendidikan 1:1-sekalipun kebanyakan sepeda motor dan Malang lebih lega.

Jumlah kendaraan bermotor di Kota Malang menurut BPS sekitar 270.327 buah sepeda motor dan 78.136 mobil penumpang. Kalau ditotal dengan truk dan bus sekalipun rasionya separuh dari populasi kota, kira-kira.

Dari segi lingkungan hidup dan polusi, Malang unggulah. Meskipun laporan teman-teman saya aktivis lingkungan hidup pencemaran Sungai Brantas menjadi masalah utama, namun tidak seruwet Kota Bandung dalam urus sampah di sungai.

Tetapi Malang kan bukan ibu kota provinsi dan Bandung menjadi ibu kota provinsi. Populasi Malang kurang dari 900 ribu jiwa, sementara Bandung tiga kali lipatnya.

Tipe kotanya mirip ada alun-alun dengan masjid di sebelah Barat, sementara Jalan Kayutangan dan Jalan Braga bisa head to head. Hanya saja Braga lebih hidup karena banyak event.

Kualitas udara kota Bandung pada musik kemarau lebih buruk bahkan secara AQi kerap menduduki nomor satu di Indonesia, sementara Kota Malang -apalagi Batu- relatif jauh lebih baik. Hanya saja baik Bandung maupun Malang tidak lagi sejuk, lebih panas dibanding hingga dua puluh tahun lalu.

Perubahan iklim bisa menjadi faktor utama, khusus untuk Bandung diperburuk karena manjemen konservasi di Kawasan Bandung Utara (KBU) entah mengapa tidak dipikirkan oleh otoritas yang mengeluarkan izin dampaknya ke depan seperti apa. Padahal hilangnya tutpan hijau bisa berdampak pada sumber air.

Yang lebih saya sesalkan untuk Bandung kan banyak pakarnya dari ITB, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, UPI, Telkom University, Itenas, dan sebagainya. SDM berlimpah dan menjadikannya kota kreatif di sisi kuliner, kerajinan dan fashion, tetapi sepertinya tidak punya akses untuk ikut berkontribusi untuk membuat Bandung menjadi slow living apalagi ditambah berkelanjutan. Mereka setahu saya sudah berusaha sebisanya. 

Pasar tradisional yang dalam sebuah tulisan oleh seorang kompasianer tidak menarik pengunjung di Jakarta, tetapi di Bandung ada yang mampu menarik pengunjung. Lagi-lagi yang menolong adalah orang-orang kreatif, seperti komunitas metalhead yang memberikan nafas bagi Pasar Kosambi adalah salah satu contohnya.

Pasar Cihapit juga merupakan pasar tua yang menarik tetapi lebih karena di sana ada Warung Mak Eha yang legendaris. Di dinding warung itu ada foto Bung Karno menandakan betapa bersejarahnya warung itu dan saya berharap tetap dipertahankan.

Kota Malang sebetulnya juga punya kelompok kreatif seperti Kayutangan Heritage yang mampu merawat sepotong kota itu menjadi romantis historis bahkan memberdayakan untuk menjadiakan kuliner bagi wisatawan. Saya belum tahu apakah Braga juga ada komunitasnya.

Namun Bandung punya perpustakaan kreatif seperti The Room 19, didukung sejumlah street library dan micro library yang betebaran di berbagai penjuru kota. Bandung mencatat Indeks Baca Masyarakat (IBM) yang cukup bagus yaitu 78,81 naik signifikan dibanding 2022 yaitu 76,07. Bagi saya keberadaan perpustakaan dan taman baca menarik untuk slow living.

Kota Malang cukup tertinggal dalam hal ini. Tingkat Gemar Membacanya (TGM) pada 2023 hanya 70,46 persen tetapi naik pesat dibanding 2022 yaitu 65,6 persen. Saya nggak tahu apa bedanya IBM dan TGM tetapi saya ambil buat head to head.

Secara pop culture, kesenian, musik, dan komunitas terkait, Bandung sepertinya lebih unggul. Hampir setiap minggu sejak dua puluh tahun ada Gigs atau pertunjukkan musik. Ratusan musisi lahir dan besar jadi penyanyi di Kota Bandung. Mereka rata-rata punya latar belakang pendidikan tinggi.

Angklung Mang Udjo adalah aset yang bagus yang harus dipertahankan, begitu juga dengan ekstra kurikuler angklung dan event angklung karena ini membuat kota lebih hidup dan Bandung adalah hibrida yang bagus antara "Modern" dan "tradisional".

Kota Malang dan Kota Batu masih punya kesenian Bantengan yang menurut saya atraktif dan saya kurang tahu perkembangan musik modernnya. 

Kuliner bagaimana? Saya setuju dengan Jujun Junaedi, Bandung luar biasa. Ada kuliner yang usianya puluhan tahun, ada sumber Hidangan di Braga (1929), BMC (1928), Toko Roti Sidodadi (1954), masih banyak lagi. Kalau Malang punya Toko Oen (1930), Kairo (1953), itu yang saya tahu dan pernah saya singgahi.

Bandung juga punya kafe-kafe yang kreatif, Sementara untuk para backpacker makanan kaki limanya, relatif seimbang Bandung punya lontong kari ayam, mi kocok, batagor hingga surabi, hingga minuman cendol, bajigur, wedang ronde.

Kota Malang punya tahu campur, sego empog yang rata-ratanya enak termasuk di Kota Batu, cwie mie, rujak cingur dan sebagainya. Sekalipun secara kuantitas Malang-Batu di bawah Bandung dari variasi, tetapi kualitasnya sama dan harganya bersaing.

Kalau dari fashion, Bandung punya factory outlet dan aneka ragam butik terutama yang kekinian, juga ada batik. Jelas Bandung punya keunggulan. Tetapi Malang punya keunggulan dalam kerajinan, terutama keramik. Bandung punya pusat sepatu Cibaduyut, sayang kini harus bersaing dengan produk impor.

Alun-alun Kota Malang-Foto: Irvan Sjafari
Alun-alun Kota Malang-Foto: Irvan Sjafari
Pangan dan Biaya Hidup

Bagaimana dengan upaya peningkatan kualitas hidup? Kota Bandung punya program Buruan SAE (urban farming) dan Kang Pisman (pemisahan sampah) sejak 5-6 tahun terakhir luar biasa.

Keduanya kalau digandeng menjadi sinergi, pupuk organik dari sampah organik mensupai Buruan SAE dan produksi Buruan SAE sudah masuk hotel, pasar swalayan, selain dipakai warga sendiri dan bisa berpotensi untuk mendukung program Makanan Bergizi Gratis.

Titik Buruan SAE sampai 2023 ada 375 dan dijanjikan 100 lagi pada 2024, maka kalau terwujud hampir mencapai 500. Kalau Pekot bisa memberikan dukungan dan pendampingan pada warga yang mau dan titiknya bisa didongkrak sampai 1.000 bukan saja menambah kekuatan ketahanan pangan, tetapi juga membantu meredam polusi entah berapa persen. 

Harga pangan pun bisa ditekan terutama untuk sayur-mayur buah, lele, ikan nila dan telur ayam kampung, mungkin juga madu lebah sangat dimungkinkan. Apalagi kalau setiap RW bisa satu titik urban farming. Keren.

Juga penanaman bunga di perkarangan dihidupkan kembali, agar Bandung kembali menjadi kota kembang dalam arti sebenarnya, maka potensi "slow living" jadi menarik.

Sayang saya tidak tahu apa Pemkot Kota Malang maupun Kota Batu punya program urban farming yang rinci dan jelas, tetapi ada setahu upaya pemilahan sampah dari komunitas-komunitas.

Padahal Kota Malang apalagi Kota Batu lebih tepat untuk diterapkan untuk program urban farming dan Program Pemlihan Sampah masif seperti Kang Pisman, karena populasi belum terlalu banyak, sumber air relatif lebih baik dan lahan lebih luas.

Gerakan penyelamatan sumber air di Kota Batu lagi-lagi dilakukan komunitas paling tidak tingkat pendataan. Untuk kota berkelanjutan Malang apalagi Batu masih sangat layak, jika kebijakan pemerintah kota mendatang berdasarkan data base potensinya. Jangan asal menerapkan, apalagi mengikuti selera pusat. 

Tentu saja Bandung dikelilingi perkebunan hortikultura yang baik seperti stroberi, jeruk dekopon, hingga sayur-mayur. Kota Malang dan Kota Batu punya apel yang jadi ikon juga jeruk.

Masalahnya ada kendala perubahan iklim yang bisa meruntuhkan budi daya tanaman ini. Naiknya suhu tentu berdampak terutama bagi apel dan stroberi juga peremajaan tanaman. 

Keberlanjutan budi daya hortikultura ini menjadi kunci apakah kedua kota ini layak jadi slow living atau tidak. Tetapi Bandung Raya punya pejuang bernama Kopontren Al Ittifaq yang punya jeruk dekopon maupun stroberi, juga sayur mayur.

Untuk healing kalau Anda tinggal di Bandung, Malang apalagi Lembang dan Kota Batu nggak masalah. Ada hiking murah meriah di Jayagiri, Tahura, menelusuri Patrol-Ujungberung, sementara Malang dan Kota Batu punya Bukit Panderman, Pandaan, Selecta. Mantap lah dari segi ini. Kedua kota ini seri dalam hal tempat hangout. 

Nah, bahasan terakhir adalah justru kunci bagaimana dengan biaya hidup? Susesnas Badan Pusat Statistik Kota Bandung sih menyebutkan biaya hidup per orang sekira Rp2 juta. Namun kalau dibreakdown lebih rinci sepertinya sulit.Saya gagal paham bagaimana menghitungnya. 

Hitungannya sekali makan Rp15.000 maka sehari termasuk sarapan dan kopi mungkin Rp40-50 ribu, maka Rp1,5 juta. Sisanya transport, rekreasi dan kebutuhan lain. Tetapi itu saya kira di luar tempat tinggal. Kost di Bandung dan sekitarnya paling murah Rp500 ribu dan layak Rp1 juta. Jadi sekitar Rp3 juta untuk sendiri sepertinya.

Kalau saya di Bandung, makan pagi sekitar Rp10 ribu hingga Rp15 ribu, makan siang antara Rp15 ribu hingga Rp20 ribu dan malam juga begitu bergantung tempat biasa warung yang sederhana. Sebetulnya tidak terlalu jauh dari Jakarta.

Kemudian menghubungi kawan yang ada di sana bisa nggak gaji Rp3 juta hidup di Bandung. Dijawab rekan saya Rianto, bisa tetapi untuk sendiri, termasuk kost. Tetapi itu pas-pasan. Apalagi Rp2 juta ya?

Sementara dia dengan istri dan dua anak butuh Rp8-12 juta per bulan. Ketika kini dia pindah ke Majalengka biaya hidup sekitar 70 persen dibanding Bandung, karena makanan murah. Namun biaya itu baik di Bandung maupun Majalengka sudah termasuk menyicil rumah atau mobil atau motor.

Kawan-kawan saya yang lain malah menyebut Rp15 ribu hanya cukup untuk jajanan cimol. Namun nasi dengan ayam geprek ada yang Rp10 ribu. Namun dihitung kalau sehari bisa sampai Rp50 ribu. Jadi Rp1,5 juta.

Sementara biaya kost Rp1-1,5 juta. Rp3 juta ngepas. Untuk bisa hangout, menonton film, nonton musik, pelesir Rp500 ribu dan kebutuhan lain mungkin bisa kalau biaya kost Rp1 juta.

Nah, apa yang diungkapkan kawan Kompasianer saya Jujun Junaedia menurut saya bagi mereka yang punya penghasilan setidaknya antara sekitar Rp4-5 juta per bulan. Lebih ideal lagi di atas itu. Kalau punya penghasilan seperti itu Bandung memang kota Slow Living termasuk gaya hidup. Baru Bandung jadi surga bagi pencinta slow living.

Wajarlah kalau UMK Kota Bandung Rp4,2 juta. Tetapi itu kan sebetulnya hanya cukup untuk sendiri dan untuk keluarga kecil dengan bersahaja mungkin. Kalau berkeluarga ideal ya memang dua kali dari itu. Biaya komunikasi apa termasuk? Ya, kalau itu kalau yang sudah punya ponsel.

Sementara Kota Malang menurut beberapa mahasiswa yang saya hubungi sekali makan minimal Rp15.000 sudah layak, sarapan Rp10 ribu. Jatuhnya sehari Rp50 ribu juga dan kebutuhan lain mungkin Rp500 ribu, juga di luar akomodasi. Kost di sana antara Rp500 ribu hingga Rp700 ribu.

"Kalau saya malah Rp1 juta per bulan sudah cukup asal jangan Fomo-fomo-an. Itu termasuk transport sehar-hari. Biaya Kost Rp2,25 juta per tiga bulan," kata Titan, mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim ini ketika saya hubungi, 26 Desember 2024.

Pendeknya gaji atau penghasilan Rp3 juta per bulan sudah cukup untuk itu hidup di Kota Malang. UMK Kota Malang sendiri sekitar Rp3,3 juta. Bisa menabung menurut sebuah tulisan di Mojok. Tetapi itu kan hidup sendiri ya?

Geza Surya Pratiwi warga Malang, yang kini merantau di Jakarta lainnya menyebutkan gaji Rp 3juta masih cukup baik untuk yang hidup sendiri, maupun pasutri dengan satu anak. Karena uang Rp10 ribu masih cukup sekali makan, namun untuk berkeluarga bisa pas kalau dihemat.

"Namun itu hitungan bagi yang sudah punya hunian. Kalau harus bayar biaya sewa hunian, sepertinya ngepas," ujar Geza.

Jadi pilih mana ya? Kalau dari lingkungan hidup dan biaya hidup Malang atau Batu adalah pilihan ideal, terutama untuk mengasingkan diri. Keduanya pas untuk jadi tempat slow living yang berkelanjutan.

Tetapi kalau tetap ingin hidup dengan pop culture, serta hiburan dan kebutuhan intelektual, Bandung adalah pilihan. Secara pribadi sebagian keluarga ada di situ. Namun perlu kerja keras semua pihak untuk menjadikan Bandung sebagai tempat slow living yang berkelanjutan. Termasuk menurunkan biaya hidup. Program Buruan SAE lebih masif untuk membantu kebutuhan pangan.

Sementara kedua kota merupakan kota pelajar, namun untuk universitas dan perguruan tinggi Bandung punya keunggulan. Jadi bagi mereka yang ingin punya anak kuliah, Bandung ideal dan hanya bisa ditandingi Yogykarta.

Masih ada Yogyakarta, Padang, Pekan Baru, Tanjung Pinang, Banyumas yang seperti disampaikan Kompasiana, tetapi itu hitung-hitungan potensi seperti tempat hangout, keragaman kulinerdan biaya hidup saya belum melakukannya, perlu riset lagi. Bukan itu saja, tetapi juga kerabat dan hubungan sosial.

Jakarta, saya pasrah untuk jadi tempat slow living, menekan biaya hidup di sana sangat sulit, siapapun gubernurnya. Karena kuncinya adalah di akomodasi dan harga kebutuhan pokok harus di bawah penghasilan. Belum lagi soal kerasnya hidup.

Irvan Sjafari 

Referensi:

https://www.cakrawala.co/daerah/77514033578/2023-ibm-kota-bandung-catat-angka-7871

https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/668ffcabed64156d8767c3f4/the-room-19-bukti-bandung-kota-kreatif-dengan-warga-gemar-membaca?page=2

https://www.instagram.com/jawaposradarmalang/p/C26bwAVBfH_/

https://mojok.co/terminal/menghitung-gaji-dan-biaya-hidup-di-malang/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun