Pada 12 Desember 2024 lalu salah satu organisasi pencinta alam yang tertua di Indonesia, Mapala UI merayakan ulang tahunnya yang ke 60. Â Organisasi pencinta alam menjadi populer dalam sejarah , salah satu di antaranya karena salah seorang tokoh pendirinya Soe Hok Gie menjadi legenda di kalangan aktivis tahun 1960-an, pemikirannya yang menginspirasi dan meninggal muda.Â
Kisah Gie pernah diangkat ke layar lebar pada 2005 oleh Miles Film menjadikannya film pertama yang menyinggung soal pendakian gunung. Film ini secara tidak sengaja menjadikan Mapala UI menjadi populer di kalangan generasi baru.
Kini Mapala UI sudah mempunyai 1.140 anggot.  Perayaan HUT di Pusgiwa UI ini menjadi istimewa karena dihadiri anggota yang merupakan representase anggota  sejak M-001 pada masa pendiriannya pada 1964  hingga M-1140 masa generasi Z.
Nah, saya mewawancarai Ketua Mapala UI periode 2023-2024 Fikra Al Fath untuk blog saya di Kompasiana dan media tempat saya bekerja Cakrawala untuk mengungkapkan kira-kira bagaimana pandangan generasi Z terhadap Mapala UI dan kegiatan pencinta alam.
Apalagi  saat ini menjadi budaya populer terlebih setelah bermunculannya film yang meromantiskan kegiatan naik gunung-menurut istilah Fikra, hingga kehadiran selebritas memviralkan kegiatan mendaki gunungnya hingga fenomena pendakian tektok. Â
Berikut wawancara dengan mahasiswa Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI angkatan 2020 ini pada 19 Desember 2024.
Mapala UI kan sudah mencapai 60 tahun. Sebagai  Generasi Z boleh apa yang dibayangkan tentang Mapala UI?
Secara personal saya memang sangat ingin menjadi seorang anggota Mapala UI sejak SMA. Namun jika saya melihat teman-teman segenerasi tentunya banyak yang tidak mengetahui Mapala UI. Hal ini menurut saya disebabkan oleh pilihan kegiatan yang semakin variatif seiring perkembangan zaman.
Bagi saya sendiri, peminat untuk menjadi pencinta alam akan terus ada selagi alam masih berada di sana dan tidak kemana-kemana. Namun perubahan trend-nya akan mengalami dinamika.
Saya tertarik untuk bersama dengan orang-orang yang hidup dengan nilai-nilai kesederhanaan, keberanian, dan cinta kasih. Tentunya setelah saya menjadi anggota Mapala UI dan hidup bersama kawan-kawan, saya tidak pernah menyesali pilihan saya.
Bagi saya sendiri hidup menjadi seorang mahasiswa pencinta alam adalah pilihan untuk tumbuh dan terus berkembang hingga menjadi berhasil. Layaknya 'mapala' dalam bahasa sanskerta berarti berbuah atau berhasil.
Setelah  masuk Mapala UI apa yang Anda dapatkan?
Ada banyak perjalanan-perjalanan menarik di alam bebas menurut saya. Tapi ternyata selama ikut kegiatan di Mapala UI, pengalaman yang paling mengesankan adalah perjalanan pelantikan.
Setelah menempuh waktu berbulan-bulan untuk menimba ilmu dari para mentor di Mapala UI Â akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Menjadi anggota Mapala UI dalam pendakian gunung untuk mencapai Lembah Mandalawangi.
Filosofi Apa yang Anda pelajari?
Jika kita mencintai alam, dan tidak ingin alam ini rusak, rasanya kita perlu memahami betul bagaimana menjadi pendaki yang bertanggung jawab. Dari mulai kesiapan perencanaan pendakian, fisik, mental, dan pengetahuan. Hal-hal tersebut menjadi kewajiban sebagai bekal bergiat di alam bebas.
Semakin banyak yang minat mendaki di masyarakat kita, artinya semakin banyak pula pendaki pemula yang perlu dicerahkan. Memang perlu waktu, tapi saya yakin dengan pengalaman dan edukasi antar komunitas, kita dapat membuat lingkungan pendakian menjadi lebih baik.
Akhir akhir ini banyak bermunculan pencinta alam  yang romantis hingga horor?
Sebagai mahasiswa, saya sangat menyayangkan oknum-oknum yang meromantisir kisah-kisah horor di gunung. Mapala UI telah menjejaki alam selama lebih dari 60 tahun dan tidak pernah bertemu hantu sekali pun. Dari 1964-2024 rasanya di alam bebas tidak ada yang namanya hantu, yang ada hanyalah hewan buas.
Bagaimana pandangan Anda tentang kehadiran Publik Figur di kegiatan pendakian gunung?
Menurut saya, public figure yang dewasa ini gemar untuk bergiat di alam bebas memiliki beban moral untuk menjadi contoh masyarakat. Maka dari itu mereka sebaiknya memberi contoh yang baik bagi masyarakat bagaimana mempersiapkan pendakian, fisik, pengetahuan, bahkan cara berpakaian dan sebagainya.
Bagaimana dengan fenomena pendakian tektok?
Melihat fenomena tektok, kita juga perlu semakin sadar bahwa tidak selamanya yang ada di konten-konten viral khususnya tektok gunung itu semudah apa yang kita bayangkan. Kita perlu melalui proses latihan agar pada saat melakukannya tidak menyusahkan orang lain. Pada akhirnya semuanya tentang bagaimana kita mempersiapkan diri untuk bergiat di alam bebas yang penuh risiko.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H