Rabu 29 Desember 2010 menjelang tengah malam, saya sudah menyelesaikan  empat artikel  untuk sebuah tablod telekomunikas. Akhirnya saya sempat makan malam idi sebuah warung makan pecel lele di kawasan Pejaten dan bertemu sekelompok kecil supporter Indonesia,ada  seorang pemuda dan pacarnya hingga seorang anak perempuan masih SD.  Mereka memakai kaos merah seragam tim sepak bola Indonesia.
Hari itu pertandingan terakhir di Stadion Senayan untuk Piala AFF Suzuki unutk pertandingan final kandang antara Indonesia melawan Malaysia. Sekalipun Indonesia menang 2-1, namun karena kalah di stadion Bukit Jalil, Malaysia 3-0 pada pertandingan tidak juara.Â
Marahkah mereka? "Tidak, Timnas sudah bekerja keras," kata pemuda yang mengaku penggemar Bambang Pamungkas. Â Yang cewek kecil mengidolakan Irfan Bachdim.
Piala AFF Suzuki menjadikan Timnas Sepak Bola Indonesia menjadi idola.  Mereka bilang pertama kalinya, mereka melihat perempuan dan laki-laki  muda berdandan modis menonton sepak bola bak menonton sebuah konser musik dengan penyanyi top.Â
Mereka mengaku hanya marah pada Ketua Umum PSSI waktu itu, bukan pada pemainnya  dan di stadion supporter Indonesia berlaku simpatik tidak membalas perlakuan supporter Malaysia dengan "insiden laser"-nya.
Tadi sewaktu ke kantor dari Roxy naik Transjakarta ikut menumpang para supporter Indonesia  dengan kaos putih dengan tulisan Indonesia dan Garuda atau kaos merah dengan jaketnya. Usia mereka belasan tahun hingga 20 tahun. Â
Saya mengorol dengan beberapa orang dari rombongan Depok pada pukul 14.00 yang biasanya tidak ramai, tetapi hari ini ramai dan padat. Tujuh puluh persen supporter. Â Bagi mereka keberhasilan Timnas Sepak Bola adalah harapan yang bisa memberikan harapan di tengah semakin kerasnya tekanan hidup. Walaupun keberhasilan itu baru di tingkat Asia Tenggara.
Pada waktu itu Christian "El loco" Gonzales, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas, Firman Utina menjadi magnet yang beberapa bersaing dengan para artis entertainment. Bahkan tidak jarang ketika berlatih, para penggemarnya datang untuk memfoto. Â
Gaya selebrasi Irfan Bachdim menjadi populer, sama seperti gol diiptakan waktu melawan Malaysia di babak penyisihan. Â Sejumlah pemain Timnas laku menjadi bintang iklan bahkan juga ikut jadi bintang sinetron.
Tetapi saya juga bingung para politisi juga ikut-ikutan tertarik menjadikan mereka sebagai komoditas, lalu diekspos oleh media massa  Mengapa hal yang tidak mereka melakukan ketika pahlawan bulu tangkis Indonesia berjuang keras meraih prestasi.  Mudah-mudahan niat mereka tidak menumpang populer, tetapi sebagai ungkapan dukungan. Namun apakah itu juga ada di pikiran para penonton sepak bola Indonesia?
Itu catatan saya di diary empat belas tahun yang silam. Â Sekarang fenomena yang sama terlihat ketika Timnas Indonesia menunjukkan prestasi yang lebih meningkat di tingkat Asia di Babak Ketiga Kualisifikasi Penyisihan Piala Dunia 2026. Â
Indonesia bisa menahan Arab Saudi 1-1, Bahran di pertandingan tandang, lalu menang menahan seri Australia 0-0 dan menang atas Arab Saudi 2-0 pada 19 November lalu di GBK. Â Sekalipun Indonesia kalah 1-2 di kendang China dan 4-0 oleh Jepang, marahkah supporter Indonesia?
Saya kira nggak. Sama seperti empat belas tahun lalu yang penting sudah usaha dan tidak lagi "main-main". Â Saya kira banyak supporter yang tahu Jepang memang kuat dan sudah setara Tim Eropa dan Arab Saudi juga tim kuat. Waktu nobar dekat rumah Indonesia kalah 4-0, tidak ada yang maki-maki. Mereka tetap mengidolakan Timnas.Â
Saya kira juga walaupun Indonesia gagal ke Piala Dunia 2026, namun dengan upaya maksimal para supporter tidak akan marah dan mencaci. Â Berada pada posisi tiga dan empat dan harus berjuang lagi menjadi untuk merebutkan sisa tiket menjadi tanda upaya maksimal itu.
Sama seperti empat belas tahun lalu selebrasi Marselino Ferdinan juga menjadi ikon dan viral mengingatkan pada selebrasi Irfan Bachdim. Sejumlah nama pemain Timnas Indonesia lainnya seperti Maarten Paes, Kevin Diks juga jadi idola. Â Timnas Sepak Bola Indonesia kembali jadi harapan yang membanggakan rakyat Indonesia.
Apa boleh buat sepak bola adalah budaya populer dan mempunyai daya pikat yang luar biasa, bahkan bukan tidak mungkin menjadi magnet bagi para politisi juga untuk ikut nimbrung.  Seperti yang sudah-sudah prestasi atlet Panjat Tebing yang sudah terbukti mendunia, pelan-pelan menggeser prestasi bulutangkis yang agak meredup, jadi  tenggelam dalam hingar bingar sepak bola.
Tidak ada salah dengan naturalisasi kalau tujuannya membangkitkan rasa kebanggaan. Â Saya pernah kemukakan hasil wawancara dengan pemain Kamerun yang main di salah satu klub di Indonesia era 1990-an bahwa fisik orang Indonesia tidak terlalu cocok untuk sepak bola, namun untuk bulutangkis memang memungkinkan. Â
Jadi naturalisasi adalah jurus yang saya sendiri tidak menduga dilakukan PSSI Â untuk menutup kekurangan itu. Hasilnya memang tim-tim Timur Tengah jadi ketar-ketir karena mereka juga punya fisik besar-besar. Â
Terkait dengan nasionalisme gaul ini, penampilan Yura Yunita, idola saya menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, Tanah Airku, sangat menyentuh. Saya dan beberapa netizen lega ketika Yura Yunita memilih lagu nasional dan tidak menyanyi lagu cinta-cintaan menghibur penonton seperti dilakukan artis sebelumnya tidak kalah menghiburnya.
Yura Yunita bahkan memakai kaos Timnas dengan bagian bawah kain tradisional ciri khasnya ketika di panggung. Mudah-mudahan ini jadi pelajaran bahwa menyanyi lagu nasional itu menjadi gempita pada momentumnya.
Masih ditunggu apa yang terjadi pada Maret tahun depan. Namun kemenangan atas Arab Saudi menjadi catatan sejarah manis sepak bola Indonesia bahkan perjalanan sejarah bangsa ini. Kalau menjawab tantangan Kompasiana, ya Timnas Indonesia memang keren sepanjang 2024 ini.
Irvan Sjafari
Sumber Foto:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H