tukang becak, gelandangan dan pelacuran di Kota Bandung menjadi masalah sosial yang mulai membuat Pemerintah Kota Bandung kalang kabut. Situasi politik pasca peristiwa  G 30 S, membuat gejolak sosial bisa dicurigai ditunggangi PKI.
Pada awal Orde Baru,Pada Kamis 8 Mei 1969 malam ratusan tukang becak mendatangi sebuah rumah di Jalan Brantas nomor 15. Mereka melempari rumah tersebut dengan batu. Â Pemicunya ialah pertengkaran antara penumpang dan pengemudi becak sebelumnya dan pengemudi bernama Sapri mengaku dipukuli. Â Tentara segera berdatangan mengusir para tukang dan menjaga ketat kawasan itu.Â
Pikiran Rakjat edisi 9 Mei 1969 melaporkan bahwa ratusan tukang becak masih berkumpul di Jalan Martadinata, Jalan Cihapit, serta Jalan Serayu. Â Belum jelas apa penyebab pemukulan, namun situasi politik pada waktu itu muncul kekhawatiran di kalangan pejabat dan petinggi militer bahwa simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) malam dapat menunggangi kejadian ini.
Kekhawatiran itu tampak ketika Pd Wali Kota Bandung R. Hidajat Sukamardijaja dan Kepala Kepolisian Kota Besar AKBP Drs. Subki Syaril mengadakan pertemuan dengan 49 pengusaha becak di Kantor Polisi Kobes Bandung, Sabtu 10 Mei 1969. Keduanya menyesalkan tindakan perusakan kepada warga Jalan Brantas yang tidak menahu atas insiden pemukulan itu.
Pemkot merasa perlu mengadakan pertemuan karena Insiden pada 8 Mei juga menyebabkan kerusakan pada rumah lain selain rumah nomor 15, yang tidak tahu menahu tentang kejadian itu. Subki meminta agar para tukang becak tidak terpengaruh oleh Garpol PKI yang akan memanfaatkan peristiwa yang menguntungkan mereka  seperti dilansir Pikiran Rakjat 12 Mei 1969.
Namun apakah unsur PKI memang bisa memanfaatkan keadaan itu, juga menjadi tanda tanya. Karena kekuatan PKI di Jawa Barat sebetulnya paling lemah dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sebenarnya sudah praktis hancur.Â
Pikiran Rakjat 13 Mei 1969 sebenarnya mengungkapkan  situasi  sosial sosial ekonomi masa itu, ketika Hidajat Sukmardijaja menyatakan bahwa jumlah becak di kota Bandung tercatat sekitar  16 ribu buah.  Sebanyak 45 ribu pengemudi yang hidupnya bergantung pada becak, rasionya satu becak menghidupi tiga pengemudi dan keluarganya. Â
Tingkat kesejahteraan para tukang becak ini sangat menyedihkan. Â Wali Kota meminta para pengusaha becak untuk tidak hanya memeras tenaga tukang becak, tetapi juga memperhatikan kehidupan mereka. Â Namun kenyataan sekadar imbauan saja. Sejarah mencatat nasib tukang becak tetap seperti itu hingga tahun sesudahnya.
Masalah sosial lainnya yang harus dihadapi Pemerintah Kota Bandung adalah pelacuran. Pada 18 Juli 1969 sebuah razzia gabungan dari Brimob, CPM, Pol AU, dan petugas jawatan sosial Kota Bandung menangkap 35 perempuan pelacur (waktu itu belum disebut PSK) dan sepuluh orang gelandangan. Â Mereka diserahkan ke Panti Perawatan Jayagiri, Lembang.
Salah satu tempat yang dijadikan sasaran ialah sebuah Hotel yang disebut S, di mana razzia gabungan menangkap 8 perempuan pelacur. Â Dua minggu sebelumnya polisi menangkap 6 perempuan pelacur di hotel yang sama. Pikiran Rakjat 19 Juli 1969 menyebut 90 persen dari pelacur berasal dari luar kota Bandung, sore mereka mencar mangsa dan subuh sudah pulang ke kampungnya.