"Nggak ada tawuran dan kekerasan di sekolah. Guru-guru di SMA 3 Â galak-galak dan disiplin. Tetapi kalau menghukum tidak pernah secara fisik!" cerita Terry, salah seorang tante saya yang pernah tinggal di Bandung.
Anak sekolah dulu, kata Uni Terry panggilan saya terhadap dia, ada kegiatan study tour ke Yogyakarta, Pelabuhan Ratu, esktrakurikuler Pramuka, Bola Basket, Voli dan sebagainya. Â Pelajarannya juga banyak ada les dan pratikum.
Hiburan anak-anak dulu adalah membaca buku dari Balai Pustaka, Karl May, Komik Tin Tin, Kho Ping Hoo dilahap ber jilid-jilid dan bisa didapat dengan menyewa.Â
"Kalau menonton bioskop yang murah meriah banyak, yaitu  Panti Karya  atau Panti Budaya di sebelah Bank Indonesia Bandung. Jadi anak sekolah tidak kekurangan tempat mencari hiburan," ungkap Uni Terry.
Ibu saya juga cerita ketika sekolah di SMP Santa Ursula Jakarta dan SAA di Bandung tidak ada kekerasan di sekolah atau mendengar ada kekerasan di sekolah.Â
Pelajarannya banyak, gurunya galak dan disiplin, polisi rajin berpatroli, kalau hiburan nonton bioskop ramai-ramai atau piknik dengan sepeda, persis seperti cerita Terry.
Mantan dosen saya di sejarah FIB UI  Tri Wahyuning juga menyatakan belum ada kekerasan, pembullyan yang menyebabkan  kematian atau cedera baik itu di sekolah negeri atau swasta.  Perempuan yang karib disapa Mbak Titik ini bersekolah di Santa  Theresia, di Jl. Gereja Theresia. Â
Hal yang menarik ketiga saksi hidup masa itu mengatakan sekolah dulu punya mata pelajaran budi pekerti. Hal ini yang tidak ada pada anak sekolah sekarang? Â
Sejak zaman saya sekolah juga tidak ada pendidikan budi pekerti. Â Namun juga perlu dicatat sumber saya menempuh pendidikan di sekolah yang kebetulan bagus. Â Jadi tidak mencakup sekolah lain.
Anak nakal? Oh, ada.  Pada 1950-an zaman crossboy, yang kerap saya tulis, bisa  karena pengaruh film di bioskop, bisa karena bacaan, kerap melakukan kekerasan, ada yang bukan kenakalan lagi, sudah kriminal, tetapi semua yang hanya kenakalan dan yang menjurus kriminal terjadi di luar sekolah.  Â
Saya belum menemukan laporan kekerasan di sekolah pada masa penjajahan bahkan di sekolah yang dikelola orang Indonesia sendiri seperti Muhammadiyah, Taman Siswa apalagi sekolah Belanda. Koran-koran yang saya baca tidak memuat satu pun kasus. Â
Apakah anak sekolah masih patuh pada norma? Â Saya memastikan guru-guru masa itu masih banyak dididikan Belanda dan menguasai ilmu pendidikan. Yang bukan sekolah yang terkait Belanda cara mendidiknya juga mengacu pada cara pendidik sekolah Belanda. Â Â
Pada akhir 1960-an juga pernah saya tulis sudah ada kekhawatiran terhadap dekadensi moral di kalangan anak muda dari komik dan film, tetapi  belum saya temukan laporan adanya kekerasan di sekolah.
Saya menduga kekerasan di sekolah bahkan juga di luar sekolah di kalangan anak-anak dan remaja bukan berakar dari sejarah sosial dan budaya Indonesia.  Ada perkelahian, tetapi satu lawan satu. Tidak ada tawuran massal  hingga akhir 1960-an.
Sejak 1970-an?
Saya sendiri menduga kekerasan di sekolah di mulai pertengahan 1970-an, terutama di Jakarta, dengan adanya tawuran terhadap di kawasan Kebayoran dan terus meningkat dengan munculnya geng-geng sekolah era 1980-an.
Saya sendirikan merasakan bagaimana jadi korban kekerasan dan melihat kekerasan di sekolah dan tidak dilaporkan. Norma mulai longgar karena arus deras dari film dan mulai munculnya video memberikan stimulus, pornografi juga mulai bisa diakses dengan mudah.
Saya tidak tahu angkanya zaman dahulu berapa kasus kekerasan di sekolah. Bisa saja tinggi, cuma tidak terungkap karena tidak menjadi perhatian media massa, belum ada internet. Â Â
Namun pada zaman sekarang lebih banyak karena banyak terungkap berkat peran media dan media sosial. Hanya saja media sosial tampaknya menjadi pemicu dan stimulus kekerasan di sekolah.Â
Anak-anak bisa mengakses konten kekerasan hingga pornografi sekalipun pemerintah sudah berupaya melakukan pembendungan, namun tetap ada jalur yang bisa mereka dapat. Â Bagaimana bisa mencekal sekian juta situs? Anak sekarang lebih cerdik dalam hal teknologi informasi.
Karina Maharani , pimpinan sebuah sekolah alternatif di kawasan Ciawi, Bogor mengatakan  tidak bisa hanya satu pihak yang menanggung fenomena bullying dan kekerasan yang semakin terbuka sekarang.
"Hal ini adalah tanggung jawab keluarga, orang tua, organisasi, pembuat kebijakan, tapi yang utama anak tidak akan belajar membully. Â kalau pembullyan itu tidak terjadi di rumah," kata Karina yang saya hubungi, 3 Oktober 2024.
Berapa sih angka kekerasan di sekolah? Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)  mencatat selama 2021  ada 594 laporan terkait kekersan terhadap anak dengan  korban 717 anak.  Baca: Kenali bentuk kekerasan
Kompas 16 Desember 2023 mengutip data dari Yayasan Cahaya Guru menyebutkan 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Â Data ini mengungkapkan 134 pelaku, 339 korban kekerasan dan 19 di antaranya meninggal.
Namun data itu hanya yang terpantau pemberitaan media massa dan tersifikasi Dewan Pers  antara 1 Januari hingga 10 Desember 2023. Sementara data dari kekementerian adalah kasus yang dilaorkan.  Bagaimana yang tidak terpantau?
Metode yang sama juga dilakukan Federasi Guru Indonesia (FSGI) Â menghimpun data kekerasan di satuan pendidikan Januari hingga Juli 2024 sebanyak 15 kasus. Â Kekerasan itu mayoritas yaitu 40 persen terjadi di jenjang sekolah menengah pertama.Â
Pelakunya mayoritas sesama anak didik, senior maupun sebaya. Â Namun guru dan kepala juga disebut melakukan tindakan kekerasan. Harus dikaji apakah guru-guru ini produk era di mana budi pekerti sudah tidak diajarkan lagi? Â Padahal budi pekerti adalah akar budaya dan kearifan lokal Indonesia.
Juga harus dilihat di sekolah-sekolah mana kekerasan terjadi, saya kira tidak terjadi sekolah yang iklim akademiknya kondusif dan kegiatan belajar-mengajar aman. Tidak terjadi di sekolah passing grade untuk masuk sekolah itu saja tinggi. Entah setelah diterapkan sistem zonasi.
Secara umum, yang lebih mengkhawatirkan anak-anak tidak lagi mempunyai teladan, mereka juga membaca berita anggota parlemen yang notabene harusnya terdidik dan matang emosinya berkelahi, diketahui media massa. Â Anak-anak tinggal bilang: Tuh orang dewasa saja melakukan kekerasan?
Kalau dari penyaluran energi berlebih, banyak kegiatan tersedia dan lebih beragam, basket, cheerleader, pencinta alam, PMR di luar yang wajib seperti Pramuka. Â Namun mata pelajaran juga banyak dan jam pelajaran banyak. Tingkat stressing anak-anak sekarang lebih tinggi karena banyak pekerjaan rumah daripada generasi sebelumnya. Â Juga kepastian terhadap masa depan.
Namun saya yakin kekerasan di sekolah  bukan berakar dari sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Daerah mana pun. Karena bukan berakar dari sejarah, sosial dan budaya, kekerasan sekolah di Indonesia seharusnya bisa diatasi dengan mengembalikan ke akarnya, di antaranya dengan menghidupkan pendidikan budi pekerti. (Bagian Kedua dari Dua Tulisan).
Irvan Sjafari
Sumber Foto:
Tulisan Terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H