Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertunjukkan Topeng Monyet Tidak Sesuai Zaman tapi Ada Dilema

22 September 2024   10:28 Diperbarui: 22 September 2024   10:35 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutsrasi: https://www.cnbcindonesia.com

Pertunjukkan topeng monyet tidak lagi sesuai dengan zaman, seiring dengan semakin tingginya risiko zoonosis, hingga aspek lingkungan. Namun masih ada dilema allih profesi pekerjanya hingga habitat MEP.

"Sarimin naik kuda!" teriak Abang pekerja topeng monyet itu. Kalimat itu masih tergiang di telinga saya melayang ke masa kecil ketika tinggal di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan  era 1970-an, ketika masih duduk di bangku SD.   

Yang dimaksud Sarimin adalah seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang  memakai topeng, diberi pakaian dan topi menunggang seekor anjing yang dianggap sebagai kuda.  Kemudian salah satu di antara dua pekerja memukul gendang.

Monyet ekor panjang itu bercermin dengan terampil naik motor mainan hingga akrobatik dan anak-anak bertepuk tangan, lucu dan menghibur. Untuk itu mereka menerima bayaran dari penyewanya.

Seingat saya, ayah pernah sekali  menyewa pertunjukkan ini di halaman rumah kemudian ditonton anak-anak dari tetangga saya. Hal yang lazim waktu itu, pertunjukkan juga kerap diadakan di halaman rumah hingga lapangan.

Tidak terbesit di kepala saya waktu itu bahwa apa yang dilakukan dalam pertunjukkan topeng monyet itu memberikan risiko kesehatan kalau monyetnya menggigit penonton (masalahnya tidak terdengar kasusnya), bisa menularkan rabies. 

Tampaknya baik monyet maupun anjing terlatih. Hanya saja pada perkembangan pertunjukkan topeng monyet kebanyakan tidak lagi membawa anjing, tetapi menggunakan sepeda motor mainan dan enggrang kecil. Mungkin karena biaya makannya dan mulai banyak penonton takut atau geli dengan anjing.

Belakangan setelah saya menjadi jurnalis lingkungan ada hal lain yang tidak baik dari pertunjukan topeng monyet ini, yaitu penyiksaan binatang.  Bukankah monyet ekor panjang (MEP) sebetulnya adalah satwa liar dan saya kerap melihatnya di Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda.

Sejak kapan sih pertunjukkan topeng monyet, pelacakan saya sih sudah ada sejak masa Hindia Belanda dan kemungkinan itu bukan asli budaya tradisional suku-suku di Indonesia.   Itu dibawa dari Eropa dan kemudian meyebar ke negara-negara Asia.

Buktinya adalah novel karya sastrawan Prancis Hector Malot "Sans Familie" terbitan 1878 atau pernah saya baca waktu kecil diterjemahkan sebagai "Sebatang Kara".

Dalam novel itu disebut Remi, tokoh utamanya adalah anak jalanan yang menyambung hidup di pertunjukkan dengan monyet dan anjing.  Pertunjukkan topeng monyet itu bagian dari sejarah sirkus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun