Pada pertengahan September lalu Yayasan Belantara menggelar Webinar Internasional tentang pariwisata satwa liar yang berkelanjutan dari Universitas Pakuan Bogor. Â Isu pariwisata satwa liar ini menarik di tengah makin maraknya konflik antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi, dalam hal ini melestarikan satwa liar.
Di antara pembicara terdapat nama Direktur Eksekutif Indonesia Eco-Tourism Network (Indecon)  Ary S. Suhandi  yang mengungkapkan pariwisata satwa liar sebetulnya menjadi tren global karena semakin banyak turis yang berminat pada konservasi dan alam.
Sejak 1987 dia sudah mulai merintis pariwisata berkelanjutan  dan berbasis masyarakat dan pada 1995 mendirikan Indecon.  Lewat lembaga ini Ary sudah banyak membantu pengembangan destinasi wisata yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Dia juga pernah menjbata kerja sama dengan organiasi internasional terkait konservasi, seperti Unesco dan UNWTO.
Pada 17 September 2024, saya berhasil menghubungi Ary  Sendjaja Suhandi untuk sebuah wawancara melalui Whatsapp untuk blog saya Jurnal Gemini Kompasiana dan untuk media saya Cakrawala terkait ekowisata. Berikut petikannya.
Apa itu pariwisata satwa liar berkelanjutan?
Sustainable Wildlife Tourism atau Pariwisata Hidupan Liar Berkelanjutan adalah perjalanan wisata bertanggung jawab ke kawasan alami, berfokus pada pengalaman mengamati dan menikmati hidupan liar di habitat alaminya, dengan turut menjaga pelestarian keanekaragaman hayati dan habitatnya, berdampak rendah, memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar, serta bernilai edukasi.
Walaupun secara harfiah termasuk hewan dan tumbuhan, namun saat disebut wildlife tourism imajinasi kita langsung tertuju pada pariwisata satwa liar. Tidak terbatas pada satwa di daratan saja, namun juga termasuk pengawatan biota laut. Sebagai contoh Wildlife tourism di Indonesia, di antaranya wisata pengamatan burung, pengamatan primata (orang utan, tarsius), Komodo, Gajah, berbagai jenis serangga, kupu-kupu, serta pengamatan biota laut seperti manta, hiu paus, lumba lumba dan sebagainya.Â
Bagaimana dengan negara lain?
Wildlife tourism sangat popular di banyak negara, sebut saja seperti Costa Rica untuk pengamatan burung endemik, pengamatan Gorila di Rwanda dan Uganda, Afrika, pengamatan beranekaragam satwa liar di Taman Nasional Serengeti, Pengamatan paus di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan sebagainya. Semakin langka dan endemik, maka semakin banyak disukai untuk dikunjungi wisatawan pengamatan satwa liar.
Seperti apa konsep ekowisata satwa liar berkelanjutan menurut pandangan Anda?
Secara konsep, wildlife tourism terkait erat dengan ecotourism atau ekowisata, yaitu perjalanan bertanggung jawab di kawasan alami untuk mempelajari, mengamati dan menikmati pemandangan alam, keanekaragaman hayati serta budaya yang ada, secara etika berdampak rendah, tidak konsumtif,  memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar.
Ekowisata mengedepankan edukasi dan pemahaman melalui interpretasi dan edukasi untuk semua yang terlibat. Ecotourism menikmati alam lebih luas, termasuk manifestasi budaya masyarakat sekitar, sementara wildlife tourism terfokus pada pengamatan satwa liar.
Apa yang dibayangkan dengan suatu kawasan ekowisata satwa liar yang ideal?Â
Destinasi Satwa liar yang ideal melakukan perencanaan yang matang, dengan mempelajari pola jelajah dan perilaku masing masing jenis satwa liar yang dijadikan target. Perencanaan harus termasuk menentukan ruang mana saja untuk kegiatan wisata, agar dampak yang ditimbulkan rendah dan mudah untuk dikontrol.
Mitigasi dampak negatif menjadi persyaratan mutlak untuk dilakukan oleh pengelola. Pengunjung harus dikelola dengan baik, oleh karenanya sistem reservasi diperlukan dikombinasi dengan penerapan kuota, sehingga pengalaman pengunjung menjadi lebih berkualitas.
Pengelola juga perlu mengedepankan unsur edukasi melalui interpretasi, baik interpretasi personal melalui pemandu yang berkualitas, maupun non personal berbentuk papan interpretasi interaktif dan sebagainya. Destinasi yang baik, mengikutkan masyarakat sekitar kawasan untuk terlibat langsung dalam menerima manfaat dari pariwisata, sebagai pemandu, porter, pengelola transportasi, restoran maupun penginapan.
Akomodasi sebaiknya juga disediakan, namun idealnya tidak berdekatan langsung dengan kawasan pengamatan satwa, agar memberikan pengaruh kecil pada satwa liar. Keamanan wisatawan dan monitoring dampak negatif dari kegiatan pariwisata secara berkala menjadi hal yang wajib dilakukan pengelola destinasi. Kebijakan dan panduan pengamatan satwa liar harus disediakan dan dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat.
Apakah ekowisata satwa liar hanya untuk wisatawan premium? Apakah wisatawan berkantong tipis juga bisa menikmati?Â
Pada umumnya destinasi satwa liar memiliki akses dan jarak yang cukup jauh dan kadang membutuhkan sarana transportasi khusus, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dari wisatawan konvensional, dengan rentang durasi sekitar 4 hari hingga 20 hari, oleh karenanya biaya akan lebih mahal. Namun ada destinasi satwa liar yang mudah dijangkau dan mudah untuk dinikmati, seperti Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur, akses mudah dan keragaman satwa juga tinggi.
Menilik definisi yang dijabarkan, jenis wisata ini terfokus pada satwa liar di habitat aslinya, tidak pada satwa d iluar habitat aslinya. Namun wisata rekreasi taman burung dalam kandang yang luas, lebih ditekankan dan ditujukan pada wisata edukasi, guna mengenalkan satwa liar lebih dekat kepada masyarakat umum. Hal ini bisa menjadi jembatan agar masyarakat umum mengenal satwa dan memberikan apresiasi pada pelestariannya, yang pada akhirnya ingin berkunjung ke alam aslinya.
Selain satwa liar apa ada ekowisata lain seperti agroekowisata bahkan wisata laut?Â
Lingkup Ekowisata lebih luas, mencakup ekosistem hutan, pesisir, maupun laut yang menjadi habitat satwa liar. Kehidupan satwa liar dan interaksi antara satwa liar dalam keseharian menjadi daya tarik pengunjung. Suatu kemewahan saat menyaksikan satwa liar bercumbu di alam aslinya, atau menyaksikan satwa liar konflik mempertahankan daerah kekuasaannya, dan mengabadikan momen itu merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Ekowisata sangat erat dengan kegiatan fotografi dan petualangan di alam liar. Saat ini banyak daerah mengembangkan destinasi pengamatan burung, seperti di Taman Wisata Alam Muara Angke, Jakarta, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Taman Nasional Baluran, meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Tanjung Puting, Pangkalan Bun, Taman Nasional Leuser dengan Bukit Lawang dan Tangkahan, Taman Nasional Berbak untuk pengamatan burung migran, Taman Wisata Alam Batu Putih, Tangkoko, Sulawesi Utara, Pengamatan dan Adopsi sarang burung di desa Jatimulyo,Kulon Progo. Pengamatan burung Cenderawasih di pegunungan Arfak, kampung Malasigi, Malagufuk, Raja Ampat, di barat Papua, maupun Rhepang Muaib di Papua dan masih banyak lagi.
Ekowisata yang berfokus pada pelestarian mangrove, biota dan terumbu karang juga telah banyak dikembangkan seperti di CMC Tiga Warna, Malang Selatan, Raja Ampat, Desa Wisata Pemuteran, Desa Tejakula, Desa Wisata Les di Kabupaten Buleleng. Dimana wisatawan menadpatkan pengalaman aksi melakukan penanaman karang dan mangrove. Sementara ekowisata yang berfokus pada pelestarian budaya dapat dilihat di kampung adat Waerebo, kampung adat Sungai Utik, dimana wisatawan dapat mempelajari dan menikmati kegiatan keseharian masyarakat yang masih otektik.
Anda sendiri mengapa tertarik  ada ekowisata?
Indonesia sebagai negara megadiversity memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk memiliki jenis endemik yang tinggi, walaupun belum secara optimal dimanfaatkan dengan baik. Di sisi lain degradasi lingkungan terus berlangsung, termasuk alih fungsi hutan menjadi pertambangan, perkebunan, perumahan baik yang legal maupun illegal.
Hal ini  tentunya memberikan keprihatinan besar. Ekonomi menjadi salah satu faktor tingginya degradasi lingkungan, selain keserakahan. Oleh karenanya saya tertarik menggunakan ekowisata sebagai tools untuk mengajarkan masyarakat mengelola sumberdaya alam dan budayanya secara berkelanjutan.
Ekowisata saya rasa cocok karena selain melakukan proteksi, sekaligus menerima manfaat ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Ekowisata menekankan keseimbangan nilai ekonomi dan nilai ekologis kawasan, sekaligus mengajarkan untuk mengelola sumber daya secara bijak dan menekan keserakahan.
Irvan Sjafari
Â
Main Foto: Â https://ntb.genpi.co/ntb-terkini/3132/direktur-indecon-ibaratkan-parwisata-seperti-api
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H