Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Jadi Tren, Ecobrick Bukan Solusi Jangka Panjang Sampah Plastik

3 September 2024   23:34 Diperbarui: 5 September 2024   18:22 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Ecobrick di Desa Mekargalih-Foto: Koleksi Tini Martini Tapran

Ecobrick menjadi tren untuk mengatasi masalah sampah plastik yang diinisiasi berbagai pihak. Namun aktivis lingkungan menilai bukan solusi jangka panjang.

Jika Anda berkunjung ke Desa Mekargalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Anda akan menemukan sebuah monumen yang menjadi ikon desa itu.

Monumen Mekargalih itu terbuat dari ribuan ecobrik, bata yang dibuat dengan cara menekan sampah plastik ke dalam botol plastik kosong. Sampah residu plastik ini tidak dapat daur ulang, seperti saset kemasan makanan dan minuman, kemasan makanan.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Garut dengan program Kang Raling (Kampung Ramah Lingkungan) meresmikan monumen ini sebagai bagian yang disebut sebagai Gebyar Ecobrick pada 31 Agustus 2024 lalu.

Koordinator fasilitator Kang Raling, Tini Martini Tapran mengatakan Program Ecobrick ini memberdayakan 372 anggota dari 15 kelompok Program Keluarga Harapan (PKH) dari 9 RW Desa Mekargalih.

Sejak program ini dimulai Mei hingga akhir Agustus masyarakat yang terlibat mampu menyulap 848,406 kilogram sampah plastik menjadi 3.184 ecobrick.

Capaian ini juga menakjubkan karena itu artinya dalam sebulan warga mampu mereduksi lebih 200 kilogram plastik jadi 700-800 bata ecobrick. Sehari warga bisa meluangkan waktu membuat 20-25 bata ecobrick.

Untuk mendorong masyarakat agar mau membuat ecobrick DLH Kabupaten Garut bersedia menghargai setiap ecobrick yang jadi dengan nominal Rp2.500. Kalau dikumpulkan maka masyarakat bisa membeli sembako.

"Tujuan utama program ini sebetulnya bukan pengumpulan ecobrick tetapi mengubah oaradigma masyarakat Garut tentang kebersihan dan Alhamdullilah mulai menampakan perubahan," ujar Tini ketika saya hubungi 3 September 2024

Ecobrick bisa dibuat berbagai macam hal bukan hanya monument atau dinding, tetapi juga mebel bahkan bisa dibuat rumah. Hanya saja ujar Tini, Ecobrick bukanlah solusi jangka panjang.

"Justru solusi jangka panjang itu jika tidak ada lagi plastik yang dibuat untuk ecobrick. Itu artinya tidak ada lagi saset, plastik sekali pakai yang kini menjadi salah satu masalah lingkungan," terang alumni jurusan Fisika ITB dan Magister dari Universitas Parahyangan Bandung ini.

Program ini dipilih untuk menjawab permasalahan di Desa Mekargalih. Untuk mengurnagi sampah di kalangan masyarakat menengah ke bawah memang ecobrick bisa membantu, tetapi untuk tidak jangka panjang.

"Namun di Bandung, program ini tidak didorong. Karena di kota itu ada program Kang Pisman yang memisahkan sampah organik dan anorganik yang lebih efektif," pungkas Tini.

Peneliti dari organisasi kajian ekologi dan lahan basah (Ecoton) Muhammad Alaika Rahmatullah ketika dihubungi terpisah mengatakan ecobrick adalah solusi semu. 

Dikatakannya, ecobrick dapat membantu mengurangi sampah plastik yang tercecer di lingkungan tapi tidak dapat mengatasi akar masalahnya yaitu produksi plastik sekali pakai yang berlebihan dan ketergantungan masyarakat pada penggunaan plastik sekali pakai.

"Ecobrick beresiko menjadi tumpukan sampah yang tersembunyi, pada akhirnya tetap membutuhkan penanganan. Lebih efektifnya mengurangi penggunaan plastik dari awal dan mencari alternatif yang lebih berkelanjutan," ujar pria yang karib disapa Alex ini ketika saya hubungi, 3 September 2024.

Lanjut Alex, ecobrick bisa dikatakan sebagai salah satu solusi untuk mengelola sampah plastik yang sudah ada di lingkungan, terutama jika digabungkan dengan regulasi yang menghentikan penggunaan plastik sekali pakai.

Dengan adanya regulasi yang membatasi atau melarang produksi dan distribusi plastik sekali pakai, aliran sampah plastik baru dapat dihentikan.

Sementara itu, ecobrick dapat digunakan untuk memanfaatkan plastik yang sudah terlanjur ada, mencegahnya mencemari lingkungan lebih lanjut. Tapi, ini sifatnya sebagai solusi sementara dalam menangani sampah yang sudah ada.

"Upaya pengurangan dan penggunaan kembali tetap menjadi arus utama untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan plastik sekali pakai," imbuh Alex.

Meskipun para pegiat lingkungan menilai ecobrick hanya menjadi solusi jangka pendek, namun pembuatan ecobrick menjadi tren di berbagai tempat terutama di kalangan kampus.

Pertengahan Agustus 2024 ini suatu kelompok mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melatih karang taruna di Dusun Telasih, Desa Karangploso untuk mengurangi masalah sampah membuat ecobrick. 

Para mahasiswa ini kemudian mengarahkan anggota karang taruna ini merangkai ecobrick menjadi pot. Dengan demikian manfaatnya menjadi ganda, sekaligus memberikan nuansa hijau di dusun itu.

Koordinator Tim Mahasiswa UMM Raka Baguy berharap karang taruna setempat mendapatkan inspirasi untuk berkreatif.

"Bukan saja kreativitas dalam mengolah sampah jadi produk bermanfaat, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru," ujar Raka seperti dikutip dari situs UMM. 

Demonstrasi pembuatan Ecobrick di Desa Sukarame-Foto: https://nursing.ui.ac.id
Demonstrasi pembuatan Ecobrick di Desa Sukarame-Foto: https://nursing.ui.ac.id

Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan FIK) dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matametika (FMIPA) Universitas Indonesia lewat program Edukasi Pembuatan Ecobrick pada Agustus 2024 mengajak warga desa Sukarame, Provinsi Banten mengatasi masalah limbah plastik.

Seperti dikutip dari laman FIK, mahasiswa mengajarkan warga membuat ecobrick dari botol berukuran 600 ml yang diisi sampah plasik dipadatkan dengan berat harus mencapai 200 gram. 

Ecobrick itu kemudian dibuat kursi,meja hingga menjadi bahan bangunan yang sederhana. Seperti halnya mahasiswa UMM, mahasiswa FIK dan FMIPA UI berharap masyarakat menjadikan kreativitasnya sebagai sumber pendapatan. 

Meskipun sudah banyak kalangan kampus terlibat mendorong warga dari kalangan menengah ke bawah di perdesaan dengan pembuatan ecobrick, menjadi pertanyaan berapa banyak ecobrick yang bisa dibuat secara manual ini? Bisa pengurangan sampah plastik minimal di lingkungan berkurang secara signifikan. 

Kemudian apakah nanti ecobrick yang sudah dibuat menjadi pot dan menjadi meja tahan lama dan kelak tidak menjadi sampah juga ketika mebel dibuat rusak? Meskipun demikian ecobrick menjadi sebuah tren menjawab masalah lingkungan sekalipun bukan solusi sesungguhnya.

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun