Omar Niode Foundation, suatu organisasi yang bergerak di bidang pertanian, pangan, kuliner dan budaya Nusantara Amanda Katilli Niode menyampaikanbahwa setiap individu mempunyai masakan favorit yang mempunyai kisah yang sifatnya nostalgia yang dia sebut sebagai comfort food.
Pendiri dan KetuaSecara definitif dia menyebut comfort food sebagai makanan yang disiapkan secara tradisional, namun  jika dihidangkan akan mengingatkan dia dengan sensasi keakraban seperti di rumahnya waktu kecil.  Â
Demikian dikatakan Amanda Katilli Niode yang juga seorang  aktivis lingkungan ini dalam pengantarnya sebagai editor dari buku "Comfort Food Memoirs: Kisah Masakan yang Menenangkan Beserta Resepnya".Â
Buku anyar yang berisi lebih dari enam puluh aneka cerita berikut resep masakan dari berbagai tokoh  itu dihadiakan kepada saya oleh seorang sahabat saya, seorang sejarawan dari Yogyakarta.
Membaca buku ini mengingatkan saya sendiri, yang  juga punya kisah nostalgia terhadap masakan sebagai orang yang hidup dalam dua kebudayaan besar, yaitu Minangkabau dan Sunda.Â
Ketika berlibur di Bandung ke rumah kakak Ibu saya bersama keluarga waktu kecil kerap dihidangkan daging pangek (daging berlumur cabai). Kalau penggemar kuliner Minang menyebutnya sebagai gajebo, dengan kuah pedas yang kental.
Namun yang dihidangkan kepada saya bukan itu, tetapi daging yang direbus tidak dipotong tetapi sekitar seperempat hingga setengah kilogram berlumuran cabai kental seperti dilumuti.
Kalau makannya diiris dengan pisau dan bila bertemu nasi panas, saya dan adik-adik makan dengan lahap.  Hidangan itu tahan untuk  berapa hari.
Yang membuatnya adalah Bibik (ART dari Kakak Ibu) Â tetapi resepnya kakak ibu saya yang dipanggil Tachi, tidak pernah saya temui di restoran Minang mana pun karena memang tidak akan bisa dijual.
"Memang tidak bisa sembarangan, cabainya saja harus digiling dengan bumbu lainnya di Pasar Baru, Bandung, bisa setengah kilogram" tutur Ibu saya untuk bisa kental.
Untuk sayurnya adalah Sayur Asam dengan kacang tanah yang rasanya berbeda dengan sayur asam yang pernah saya coba di restoran Jawa dan Minang. Kalau itu hadir dua-duanya di rumah kakak ibu, maka saya malas untuk makan di luar di Kota Bandung.
Nah, dalam buku ini artikel yang ditulis seorang mantan broadcaster dan jurnalis bernama  A.B. Eko Donny Prayudi yang menetap di Pontianak juga menceritakan resep dari Sang Nenek yang berasal dari Jawa Timur ketika pindah ke daerah Sintang-Putusibau yang terkait akultuasi budaya Jawa-Dayak-Melayu.
Masakan yang dijadikan contoh adalah Tumis Pakis Merah, Tumis Daun Tumbuk dan Sambal Cincalok. Â Masakan ini dihidangkan Sang nenek ketika dia masih kecil, menurut pengakuan menulis jika bertemu nasi ingin terus tambah.
Masakan pertama ialah daun pakis merah yang merupakan sayuran khas dari Kalimantan Barat dengan campuran teri, dengan peracik bumbu dari Jawa Timur. "Sentuhan khas Jawaninya ialah adanya sedikit gula," tulis Eko Donny Wahyudi (Halaman 5).
Yang menarik perhatian saya adalah tulisan Annie Nugraha, peminat kuliner dan food fotografy dari Palembang dengan Pindang Panin yang disebutnya paling enak, yaitu dari Pegagan, Sub Suku  Ogan  di Kabupaten Ogan Ilir. Masakan ikan patin ini berwarna merah kerap dia rasakan ketika masih kecil di rumah bibinya.Â
"Ikan pindang ini banyak kandungan rempahnya, cabai merah, bawang merah, bawang putih, tomat, gula putih, kecap asin dan tentunya potongan nenasnya," tulis Annie.
Saya sendiri sewaktu berkunjung ke Palembang bersama Rombongan TX Travel akhir Januari-awal Februari 2015 sudah mencicipi pindang ikan, tetapi yang versi Meranjat.
Tulisan ini memberikan perspektif bahwa hidangan ikan patin Palembang  dengan nanasnya juga punya berbagai variasi. Sewaktu saya duduk di bangku SD, pernah disuguhkan hidangan ini dari kawan saya yang memang orang Palembang yang rasanya enak. Jadi kuliner bukan hanya empek-empek dan tekwan.
Amanda Katilli sendiri menulis tentang Tabu Moitomo yang resepnya ditulis Zahra Khan, pegiat kuliner Gorontalo yang mengingatkan pada masakan ibunya. Â Makanan ini adalah daging sapi yang dimasak dengan 30 jenis bumbu rempah, termasuk kayu manis dan cengkih.Â
Tentunya masakan daging sapi termasuk mahal kalau itu dijual seporsinya, Resepnya sih berbahan utama 250 gram daging sapi dan 250 gram tulang ini dan juga ada kandungan jagung  untuk enam porsi.  Kalau dijual di resto harga seporsinya?
Bagi saya masakan Gorontalo baru saya temukan di Restoran Gorontalo di kawasan Kelapa berapa dekade silam, juga berbahan jagung, tetapi juga ikan tude dengan bumbu rica-rica yang mirip dengan kuliner Manado bernama sama.
Secara keseluruhan buku yang diterbitkan Diomedia, 2024 Â ini memberikan informasi luar biasa tentang kekayaan kuliner Indonesia. Jika Anda membaca buku ini dan ingin mendirikan restoran tentunya banyak pilihan-pilihan. Â Namun yang penting buku ini menyimpan memori yang tidak boleh hilang karena inilah keanekaragaman budaya dalam masakan.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H