Saya mulai menjadikan  menonton film sebagai salah satu hobi boleh dibilang terlambat, yaitu di akhir saya kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sebelum namanya jadi Fakultas Ilmu Budaya UI (1990-an awal). Kalau saja saya tidak mencoba menonton film di luar film Indonesia dan Hollywood mungkin film bagi saya terbatas sebagai sebuah hiburan.Â
Namun ketika saya ikut kursus Bahasa Prancis di CCF yang kerap memutar film Prancis dua kali sepekan, saya baru menyadari bahwa film-film di luar Hollywood tak kalah bagusnya. Walau pertama-tama sulit mencernanya. Â
Sejak itu bagi saya film bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga intelektual. Â Menonton film itu sama dengan baca buku, mau mencari kesenangan saja atau mengisi kepala. Dua-duanya saja, ada film yang untuk hiburan dan ada film untuk intelektual.
Kalau yang pertama sekadar menonton dan sudah itu lupakan, sama seperti meneguk minuman coca cola di kala cuaca panas menyengat atau sekadar mengusir kesuntukan.Â
Sementara yang kedua ibarat minum segelas susu segar yang bermanfaat bagi tubuh. Â Sejak 1990-an film yang saya tonton selalu saya catat di diary dan pada 1994 sudah mulai mencoba menulis review film di "Majalah Sinar" pertama kali bekerja sebagai jurnalis.Â
Redaktur saya Mas Budi Winarno waktu itu memberikan saya kesempatan. Â Saya masih ingat saya pernah menulis review "Little Women", "Star Terk", Film James Bond "Golden Eye".
Setelah itu saya menonton  film-film Prancis seperti L'Haine yang memperkenalkan saya pada sutrdara Matthieuw Kassovitz, L'appat  yang membuat saya jatuh hati pada bintang Belgia Marie Gillain, dan masih banyak lagi.  Prancis bukan hanya Allain Delon.  Berikutnya masih era 1990-an mengunyah film Iran dan akhirnya film mancanegara setelah adanya Jiffest.
Saya menyebut diri saya sendiri dari sekadar penonton film hiburan sebelum era 1990-an menjadi orang apresiasi pada film dengan memberikan ulasan dan menjadikan bahan diskusi. Atau baru tingkat dua. Â
Kalau yang pertama kan memandang, misalnya saya suka Dilan 1990 karena dialog lucu, Iqbaal Ramadhan itu lucu, Vanesha Pescelia itu cantik. Sampai di situ. Â Tetapi kalau di tingkat dua, Â Dilan 1990 itu menggambarkan remaja Bandung era 1990-an, Â film ini menjadi ikon film remaja berikutnya setelah "Ada Apa dengan Cinta", "Gita Cinta dari SMA" dan akhirnya "Tiga Dara". Â Â
Namun belum menjadi orang yang kritis terhadap film. Â Pasalnya saya tidak bertemu dengan sebuah komunitas yang sama-sama tukang ulas film. Masuk tingkat tiga ketika ketemu "gerombolan" bernama KOMiK dengan pentolannya seperti Dewi Puspasari, Linda Ernita dan pas ketika saya mulai mengulik film lebih dalam.Â
KOMiK membahas bagaimana skenario, sinematografi, dan menjadi interaktif karena peran media sosial bukan hanya komentar di bawah tulisan di Kompasiana. Saya tidak ingat masuk tahun berapa  setelah KOMiK  berdiri tetapi mulai aktif ketika ikut berapa event Kompasianival sebelum pandemi.
Pengetahuan film anggota KOMiK sama  rata hingga semua diskusi menjadi nyambung dan bisa saling mengkritisi pandangan reviewer.  Jadi bukan hanya kritis terhadap film. Rata-rata sudah menggunakan referensi dan penonton film tidak hanya Indonesia dan Hollywood.
Berapa film yang harus ditonton mereka yang mengaku penggemar sekaligus pemerhati film. Saya pernah tanya sama senior jurnalis yang sering mengulas film. Noorca M. Masardi kalau tidak salah menonton film dalam setahun lebih dari 50,  Pak Yan Wijaya  mengaku pernah sampai 100 film per tahun. Entah Leila. S. Chudori berapa. Â
Sempat mengurut dada, ketinggalan banget, ya? Karena pada 1990-an saya hanya menonton film 3 kali sebulan atau 36 per tahun, film yang ditonton serius ya bukan sambil lalu. Baru sejak 2000-an target 50 film pernah terpenuhi.Â
Saya memperkirakan anggota KOMiK menonton puluhan film setahun hingga bisa memperbuat perbandingan bagus, apalagi sekarang ada layanan streaming dan Youtube. Â Â
Pada tahap berikutnya ialah menjadi bagian dari masyarakat film Indonesia. Leila S. Chudori sudah menjadi bagian masyarakat film Indonesia karena dia sudah ikut membuat "Dunia Tanpa Koma". Â Jadi bukan lagi mengkritisi, tetapi dia sendiri juga harus siap dikritisi.
Nah, KOMiK Â tampaknya sudah memasuki tahap ini. Dengan film pendek "Ngidam" Â dan "Jagaditta" menjadi buktinya. Â Makanya saya mengusulkan agar kegiatan KOMiK berikutnya ialah workshop membuat skenario film dengan artis, sutradara dan penulis skenario.Â
Kalau perlu setiap karya peserta workshop dibahas apa skenario ini susah dicerna atau dibuat film, hingga bisa belajar terus. Kemudian workshop sinematografi, merancang membuat soundtrack film.
Nah, kalau sudah sampai di tahap ini anggota KOMiK yang sudah jadi masyarakat film Indonesia bukan saja sudah tercatat dalam sejarah perfilman Indonesia, tetapi juga siap untuk jadi bahasan. Â
Saya kira setiap anggota KOMIk siap untuk membuat film jika dibekali berbagai macam skill yang saya sebut di atas.  Tentu saja butuh pendanaan. Selanjutnya, tinggal memilih saja mau filmnya hanya jadi sekadar minuman coca cola, melepas rasa dahaga  atau menjadi susu segar yang bermanfaat bagi tubuh (otak).
Selamat Ulang Tahun ke 10 KOMiK.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H