Aku tidak tahu mengapa  ayah menamakan aku  Hijau Bumi Lestari.  Padahal nama ayahku  adalah Garuda  Jatayu.  Ibuku bernama  Raden Laksmi Martasasmita, masih kerabat  dari Prabu Wastu Kencana, raja kami.  Tidak ada kawan-kawan sebaya aku  yang namanya seaneh itu di kerajaan ini.  Seolah aku datang dari dunia luar dihadirkan ke kerajaan ini.
Usiaku kini menginjak tujuh belas tahun. Aku beruntung diberi kebebasan untuk belajar apa pun oleh ayahku, asal aku suka dan sungguh-sungguh.  Tetapi aku memilih belajar bertani  dari paman  Ki Bodas dan meramu masakan  dari  Nyi Tirtawangi, juru masak istana.Â
Aku ingin membuka rumah makan bagi rakyat kerajaan. Â Ayah dan ibu aku tidak menghalangi bahkan mendukung. Â Prabu Wastu Kencana bahkan terharu keponakannya mau berada di tengah rakyat jelata dan tidak merasa sebagai bangsawan istana. Â
Sang Prabu pernah mengintip aku melayani seorang pedagang yang makan di kedaiku, bukan orang yang bekerja padaku, menuangkannya minuman. Â
"Seandainya Ananda anakku bisa menjadi penggantiku kelak. Aku ingin putra mahkotaku seperti anjeun rendah hati dan mau berada di tengah rakyat," kata Prabu suatu ketika.
Orangtuaku dan Prabu membiarkan putri dari kraton seperti aku berkeliaran di pasar masuk hutan bahkan tanpa pengawal. Â Tidak ada pencuri apalagi di kerajaan ini karena semua rakyat cukup makan, sandang dan punya rumah. Â Hanya satu mereka pinta aku tidak melewati batas tengah hutan ditandai rumpun bambu dan dua pohon besar berbentuk gerbang. Â
"Pamali kamu akan masuk dunia lain!" kata ayahku dengan keras.
"Memang ada apa di dunia lain itu Abah?" tanya aku pada ayahku.Â
"Dunia lain itu penuh mahluk jahat, mereka suka mencelakakan orang dari kerajaan kita. Jangan sekali-sekali ke perbatasan kecuali ditemani pengawal kerajaan!" Â Ayahku tegas.
Senapati Rajamandala sudah sering mengumumkan warga kerajaan yang hilang  ketika melintas perbatasan dan pulang sudah menjadi mayat. Â
