Ular tanah (Calloselasma rhodostoma) merupakan satwa endemik di sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Ular yang termasuk berbisa ini kerap bersarang di dekat pemukiman manusia dan di kebun.
Ular tanah memiliki panjang badan  sekitar 76 sentimeter ini dan corak warna badan  kecoklatan membuatnya sulit untuk dikenali secara sekilas apabila berada di kebun.
Tim peneliti mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada yang  menamakan dirinya Averin (antivenom with tamarind)  melakukan uji praklinis untuk melihat potensi asam jawa (Tamarindus indica)  sebagai antibisa ular tanah
Menurut Oktaviani Nisa Hanafiah dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang memimpin tim riset  ini mengatakan mereka terinspirasi karena banyaknya kasus gigitan ular di sekitar lingkungan mereka.
"Kami sering menemukan kasus ular ini  yang  menyerang keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar kami. Hampir selalu korban gigitan ular mengalami kondisi kritis dan tidak sedikit dari mereka meregang nyawa," ujar Oktaviani kepada saya, 2 Agustus 2024.
Bersama Fauzela Azira Ainaya, mahasiswi Biologi, Fani Nur Maftukhah dan Rahmadina Nur Azizah  dari farmasi, hingga rekan se-fakultasnya Khansa Fortuna Putri. Oktaviani  mengikuti program PKM-RE (Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta).
Penelitian ini didorong oleh keprihatinan mereka sudah kasus serangan ular tanah cukup banyak distribusi serum antibisa ular seringkali mengalami kendala, entah dari segi biaya maupun aksesibilitas.
Selain itu, serum antibisa ular hanya terbatas untuk tiga spesies ular saja, yakni Naja sputatrix, Bungarus candidus, dan Calloselasma rhodostoma.
"Hal ini kemudian menjadi perhatian kami. Kami pun lalu melakukan studi literatur. Berdasarkan riset sebelumnya, terdapat kajian potensi ekstrak biji asam jawa pada gigitan ular bitis arietans yang sama-sama  merupakan ular dalam famili viperidae dengan ular tanah," ungkap Oktaviani,
Untuk sebaran kasusnya sendiri sampai sekarang belum ada data pasti jumlah gigitan ular tanah di daerah yogyakarta, namun yang jelas ular tanah ini menjadi salah satu ular berbisa yang menyumbang kasus gigitan ular di indonesia.
Biji asam jawa sendiri setelah melalui pengujian GCMS dan in silico, memiliki kandungan mome inositol dan hexadecanoic acid yang memiliki binding afinity dan ikatan dengan asam amino pada SVMPs (enzim utama pada bisa ular tanah). Â
Dua senyawa tersebut diduga menjadi senyawa yang memiliki efek antibisa, masih memerlukan pengkajian lebih lanjut lagi. Riset para klinis ini masih butuh tahapan dan pengujian yang sangat panjang untuk dijadikan antibisa ular.
Oktaviani juga menyampaikan dirinya pernah bertemu ular tanah, juga ular kobra, uar weling, ular bajing dan ular viper pohon. Namun menurut dia ular sebenarnya merupakan satwa yang cenderung menghindar jika terancam.
Dalam rantai ekosistem, ular bermanfaat sebagai penangkal hama alami karena perannya sebagai spesies puncak dalam ekosistem sawah dan perkebunan.
Riset Tim Averin menjadi harapan bagi Indonesia yang  boleh dibilang sebagai sarang ular.  Sayangnya tanah air kita yang tercinta ini hanya memiliki dua anti bisa ular jenis polivalen.
Yang pertama adalah  produksi PT Bio Farma (Persero)  yaitu Serum Antibisa Ular (SABU) I.  Yang kedua merupakan serum impor dari Australia yang dinamukan SABU II.  Serum ini produksi bioCSL.
Kendala yang cukup menyeramkan ialah SABU I maupun SABU II tidak banyak ditemukan di daerah perdesaan. Padahal kawasan perdesaan ini justru paling potensial mengalami serangan ular.
Irvan Sjafari
Sumber  Lain:
https://tirto.id/negeri-sarang-ular-indonesia-krisis-penawar-bisa-enWJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H