Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Sungai Plastik", Ungkap Wajah Kelam Sungai Indonesia

30 Juli 2024   13:02 Diperbarui: 30 Juli 2024   13:04 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampah plastik sekali pakai adalah ancaman berikutnya bagi keberlanjutan mahluk hidup termasuk umat manusia di masa depan, setelah emisi karbon dan pemanasan global. Para pemerhati lingkungan hidup memperingatkan bisa jadi kelak di lautan akan lebih banyak plastik daripada ikan di masa mendatang.

Ancaman sampah plastik sekali pakai ini menjadi tema sebuah film dokumenter bertajuk "Pulau Plastik" (2021)  yang disutradarai oleh Dhandy Laksono dan Rahung Nasution.

Tokoh utamanya adalah seorang vokalis band Navicula asal Bali bernama Gede Robi.  Dia bersama pengacara muda Tiza Mafira dari Jakarta dan founder Organisasi kajian ekologi dan lahan basah (Ecoton) bernama Prigi Arisandi dari Jawa Timur.

Para aktivis lingkungan ini memperingatkan bahwa plastik sekali pakai bakal pecah jadi mikroplastik yang ujung-ujungnya bakal menyelusup ke dalam tubuh, yang akhirnya bisa mengancam kesehatan.

Pada 29 Juli 2024 mengambil momentum Hari Sungai Nasional Tim Ecoton meluncurkan "Sungai Plastik". Film documenter berdurasi 32 menit ini mengisahkan perjalanan Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN)  menjelajahi 68 sungai nasional, di antaranya Sungai Brantas, Sungai Ciliwung, Sungai Bengawan Solo, Sungai Citarum, Sungai Batanghari, Sungai Deli dan sebagainya.

Sebagai narator selain Prigi Arisandi sendiri terdapat nama Amirudin Muttaqin, peneliti Ecoton.  Menyaksikan tayangan video ini melalui kanal Youtube disuguhkan panorama sungai yang sudah rusak, sampah plastik yang menutupi permukaan, tersangkut di batang pohon.

Keindahan alam yang dulu ditawarkan sungai-sungai ini berantakan. Bahkan sungai ini tidak lagi menjadi bahan baku air minum, ikan-ikan yang menghuni sungai pun terancam.

"Sungai Plastik" juga memuat protes dari masyarakat yang menuntut pemerintah pusat untuk segera melakukan intervensi hingga tanggungjawab produsen produk konsumer  terhadap sampah plastik saset yang lebih sulit terurai.

Film dibuka dengan narasi pengangkutan sepeda motor dari kapal kecil  ke  kapal besar, karena air di muara sungai dangkal hingga kapal besar tidak bisa lagi  masuk di Belitung.

Yang luar biasanya ialah stamina duet Prigi dan Amirudin mengendarai sepeda motor di jalanan menuju lokasi begitu diuji. Tidak jarang mereka harus dipijat, makan seadanya.   Saking padat kegiatan ketika berada di Bengkulu, Prigi merayakan lebaran jauh dari keluarga.  Dia mengirim salam lebaran melalui video call.

Saya jadi ingat film layar lebar "The Motorcycle Diary" (2004) yang mempertujunkkan petualangan dua anak muda Argentina Ernesto "Che" Guevara dan Alberto Guanardo melakukan perjalanan di Amerika Selatan dan menemukan berbagai ketimpangan sosial dengan naik sepeda motor. Perjalanan ini mengubah hidup dokter muda Ernesto menjadi kiri karena tidak tahan hati nuraninya.

Nah, dalam Sungai Plastik, ketimpangan terkait lingkungan  disaksikan Prigi dan Amirudin. 

"Di Sawah Lunto masyarakat harus memakai air yang tercemar  tambang dan akhirnya untuk mandi mereka terpaksa memkai air galon. Di Batanghari  air sungainya mengandung merkuri. Itu karena  di hulu banyak tambang emas illegal senyawa merkuri untuk pemisahan emas," ungkap Amirudin dalam tayangan video.

Banyak adegan yang menarik, ketika anak-anak di Ternate diajak bermain sambil edukasi menghitung jumlah sampah botol.  TIM ESN ingin mengajar anak-anak sebagai generasi penerus tentang bahaya sampah plastik tanpa menggurui.  Ke depannya mereka akan berpikir untuk tidak membuang sampah ke sungai.

Sebagai catatan 43% sampah plastik berasal dari saset dan 25% dari kantong plastik sekali pakai.

Tentu saja gambar-gambar yang menyeramkan. "Sungai Plastik" diselingi adegan relaks ketika Prigi dan timnya menari di Istana Maimun diiringi musik Melayu. Mereka juga belajar kebudayaan.

Film dokumenter ini menyadarkan saya bahwa kalau tidak ada orang seperti Prigi Arisandi dan Amirudin Muttaqin maka nasib sungai di Indonesia entah bagaimana. Padahal banyak kota di Indonesia yang dilalui sungai dan sungai adalah urat nadi kehidupan.

 

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun