Saya jadi ingat film layar lebar "The Motorcycle Diary" (2004) yang mempertujunkkan petualangan dua anak muda Argentina Ernesto "Che" Guevara dan Alberto Guanardo melakukan perjalanan di Amerika Selatan dan menemukan berbagai ketimpangan sosial dengan naik sepeda motor. Perjalanan ini mengubah hidup dokter muda Ernesto menjadi kiri karena tidak tahan hati nuraninya.
Nah, dalam Sungai Plastik, ketimpangan terkait lingkungan  disaksikan Prigi dan Amirudin.Â
"Di Sawah Lunto masyarakat harus memakai air yang tercemar  tambang dan akhirnya untuk mandi mereka terpaksa memkai air galon. Di Batanghari  air sungainya mengandung merkuri. Itu karena di hulu banyak tambang emas illegal senyawa merkuri untuk pemisahan emas," ungkap Amirudin dalam tayangan video.
Banyak adegan yang menarik, ketika anak-anak di Ternate diajak bermain sambil edukasi menghitung jumlah sampah botol. Â TIM ESN ingin mengajar anak-anak sebagai generasi penerus tentang bahaya sampah plastik tanpa menggurui. Â Ke depannya mereka akan berpikir untuk tidak membuang sampah ke sungai.
Sebagai catatan 43% sampah plastik berasal dari saset dan 25% dari kantong plastik sekali pakai.
Tentu saja gambar-gambar yang menyeramkan. "Sungai Plastik" diselingi adegan relaks ketika Prigi dan timnya menari di Istana Maimun diiringi musik Melayu. Mereka juga belajar kebudayaan.
Film dokumenter ini menyadarkan saya bahwa kalau tidak ada orang seperti Prigi Arisandi dan Amirudin Muttaqin maka nasib sungai di Indonesia entah bagaimana. Padahal banyak kota di Indonesia yang dilalui sungai dan sungai adalah urat nadi kehidupan.
Â
Irvan Sjafari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI