Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya Angkutan Kota yang Cocok untuk Transportasi di Depok

15 Juni 2024   18:18 Diperbarui: 15 Juni 2024   18:20 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ihttps://jurnalpopuler.blogspot.com/2013/08/rute-angkutan-umum-di-cinere.html

Kecuali  jalur lurus Pasarminggu melintasi Lenteng Agung, Margonda hingga Terminal Depok sulit untuk transportasi di luar angkutan kota, karena lebarnya jalan tidak memadai.  Jalur lurus ini pun sudah padat dengan kendaraan pribadi ditambah Transjakarta, minibus dan aneka angkutan kota setiap jam sibuk dan weekend (akhir pekan).

Saya gagal paham bagaimana dulunya strategi pembangunan Depok yang menumpuk di kawasan ini, bisa-bisanya lebih dari dua mal ditambah balai kota dan Kampus UI, Kampus Universitas Pancasila, Universitas Gunadharma, IISIP ditambah perguruan tinggi kecil plus pemukiman ada di jalur Lenteng Agung-Margonda ini. 

Bagaimana ceritanya perjalanan menuju Depok dari Pasarminggu ketika saya masih duduk di bangku SMA, yang sepi pada sore hari dan pulang malam menakutkan menjadi begitu padat setelah 2000-an? Jadi sangat tidak layak kalau masih ditambah dengan apa yang disebut sebagai Autonomous-rail rapid transit (ART) di jalan ini.

Apalagi jalan-jalan lainnya yang lebih kecil, bakal runyam nanti kepadatan jalan.  Angkutan kota satu-satunya transortasi umum yang paling masuk akal ditambah pengurangan kendaraan pribadi  akan mengurnagi kemcaetan, di kota yang sebagian penduduknya sebetulnya hanya untuk tidur karena mereka bekerja di Jakarta. 

Jalur yang padat lainnya ialah menghubungkan antara terminal dan stasiun Depok dengan kawasan Parung juga membuat saya gagal paham karena tidak memperhitungkan adanya pusat perbelanjaan moden dengan klaster pemukiman kelas menengah dengan kapasitas jalan raya.  Di jalur ini juga ada RSUD Depok. 

Tulang punggung angkutan umum ini adalah nomor 03 yang jumlahnya cukup banyak dan hanya ramai pada jam sibuk.  Waktu tempuh perjalanan dari terminal Depok hingga titik Parung Bingung yang menghubungkan Meruyung, Cinere dan Pondok Labu saja membutuhkan waktu satu setengah jam.  Bus besar saya tidak rekomendasikan masuk ke jalur ini, sekalipun diperlebar.

Apalagi jalur Parung Bingung-Pondok Labu dengan tulang punggung Angkutan Kota 102 juga macet terutama di kawasan Cinere.  Pemerintah Kota Depok dan pengembang tampaknya dari awal hanya menghitungkan yang penting laku dulu kalau nanti macet persoalan mendatang. 

Jadi tidak mungkin ada bus besar sampai ke Cinere.  Transjakarta  ukuran mikrobis masih mungkin sampai Pondok Labu mungkin sampai Mal Cinere.  Tetapi setelah itu akan akan menambah kepadatan.   

Ya, jadi solusinya angkutan umum kota ini yang diperbaiki.  Pemkot Depok bisa mencontoh Pemkot Bogor di bawah Bima Arya yang memperbaiki kualitas angkutan kotanya dengan memperkenalkan Program Angkot Listrik yang bernama Biskita. 

Angkutan umum ini akan meregenerasi angkutan umum lama yang sudah di atas 20 tahun, yang saya kira memang tempat karena selain berdampak lingkungan juga bisa pada keselamatan.  Tentunya mobil baru, sebetulnya regenerasi juga dilakukan Jaklingko yang sudah menggusur sejumlah rute angkutan umum kota KWK dan Mikrolet.  

Jadi memang cepat atau lambat angkutan kota model model lama dan mikrolet akan masuk museum menyusul Metromini dan Kopaja. Angkutan kota harus menggunakan sistem seperti Jaklingko. Sudahlah, kalau saya ingin supir angkutan kota yang lama dilatih agar bisa masuk angkutan umum cara baru ini, supir digaji, nggak perlu mengejar setoran dan membayar pungli di jalan. Jadi mereka tidak merasa kalah dengan rekruitmen baru, mereka harus jadi prioritas.   

Pengelola angkutan umum bisa memperkerjakan para pemungut liar jadi tukang cuci mobil angkutan umum model baru ini. Hingga mereka bisa mendapatkan uang hasil keringat sendiri tanpa sumpah serapah supir.  Bagi polisi lalu lintas angkutan umum model Jaklingko  bisa mengurangi pekerjaan karena rata-rata mereka tertib mengangkut penumpang dari halte.

Tentunya supir tembak yang kerap di bawah umur itu tidak ada lagi, tidak ugal-ugalan bila konsep Jaklingko diterapkan di Depok.  Di pinggiran Jakarta, supir tembak di bawah umur ini  beroperasi malam hari, entah bagaimana mereka bisa lolos.

Selain  itu  angkutan umum model baru itu harus bebas copet, apabila dilengkapi CCTV dan pintunya bisa dikunci oleh supir.   Baru itu angkutan umum aman dan nyaman.   

Sebagai catatan, setahu saya kasus pencopetan di Transjakarta bisa dihitung dengan jari dan pelakunya tertangkap kalau dilakukan di dalam bus.  Mungkin yang jadi persoalan waktu antrean di halte tertentu yang sempit dan itu sulit terjadi di halte koridor utama di kawasan Sudirman-Thamrin-Kota yang haltenya bagus-bagus dan lebih lega, serta petugas keamanannya cukup banyak.

Kembali ke angkutan umum untuk Kota Depok memang yang paling memungkinkan model Jaklingko ini. Cuma mampu nggak Pemkot Depok melakukan subsidi? Apa anggarannya cukup?  Bima Arya saja sudah mengakui konsep Jaklingko sulit diterapkan di Bogor karena keterbatasan anggaran walaupun sudah lama punya rencana untuk itu.  Baca:  Bima Arya  Akui Kesulitan terapkan Jaklingko

Apakah warga Depok lebih banyak menantikan transportasi umum, kalau untuk rute Parungbingung-Pondok Labu 102 setahu saya eksis dan hingga sepuluh tahun ke depan saya proyeksikan masih bertahan sekalipun dengan sistem lama. Pasalnya mereka melewati dua pertiga jalanan lewat kampung tradisional bukan kompleks menengah.  Hanya saja di atas jam 9 malam sulit didapat.

Sementara rute 61 bakal mati apalagi kalau Jaklingko buat rute Pasarminggu-Cinere dan Pemprov DKI Jakarta mempertahankan ongkos Rp0 untuk Jaklingko. Hingga ongkos Pondoklabu-Pasarminggu yang bisa Rp8.000 tidak efesien lagi karena kemahalan bagi mereka yang ingin sambung. Tidak masuk akal, saya ke TMII habis Rp30 ribu dari Cinere. Kalau pakai Ojek daring tidak jauh beda, alasan angkot itu bensin mahal.

Sementara rute 110, Cinere-Depok dan 114 Pondok Labu-Cakra berkurang jumlahnya, karena penumpangnya kurang. Hingga kalau saya harus naik angkot bersabar dengan waktu tunggu bisa lebih dari 30 menit.

Harusnya kalau angkutan kota model lama masih dipertahankan maka ada bensin harga khusus bagi mereka. Dipastikan mereka tidak dagang bensin dengan kuota yang sudah dihitung.  Jadi biaya angkutan umumnya bisa dipotong jauh dan tentunya lebih jika sistem Jaklingko yang diterapkan.  Tetapi sekali lagi mau nggak pemerintah daerah dan pusat mensubsidi?

Saya kira hingga saat ini Autonomous-rail rapid transit (ART) hanya mungkin bisa  diterapkan di Jakarta, di Bandung untuk ruas tertentu dan saya belum tahu untuk kota lain.  Untuk Kota Malang atau Kota Batu yang saya pernah ke sana lebih baik perbaiki saja angkutan umum seperti model Jaklingko. Apalagi untuk Kota Depok dan Kota Bogor. Sementara untuk memperlebar jalan sulit sekali dilakukan karena harus mengorbankan banyak kepentingan.  

Jangan paksa Kota Depok dan Kota Bogor, juga sebeutlnya Kota Bandung  seperti  jadi Jakarta. 

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun