"Niatmu baik, alam mah tahu mana orang yang baik atau tidak?" tergiang ucapan Abah.
Salahnya, aku menulis penemuan lutung itu di blog, lengkap dengan fotonya dan menjadi perhatian banyak orang. Aku baru tahu bahwa  hanya aku bertemu spesies itu hidup. Dengan cepat tulisan itu meraup banyak viewer di antara peneliti yang ingin mengajakku ke sana.
Masalah datang. Pagi ini  empat orang  menghampiri saya di tempat kos dan memaksa saya untuk ikut mereka.
Darmawan Bimasakti, kakak kelas ku di kampus . Tak ada anak yang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas  Indonesia Emas ini yang  berani lawan dia. Selain badannya besar, ia putra seorang pendiri ormas yang berpengaruh. Sang Ayah  pemilik yayasan kampus dan pengusaha besar.
Andika, Sonny dan Berty juga mahasiswa di sana dan anak buahnya di ormas tersebut. Ketiganya anak pejabat  yang punya pengaruh.  Mereka berempat gemar mengendarai motor trail di alam terbuka, namun kerap membuat keributan dengan warga berbagai desa karena merusak kebun sayur warga,  Â
"Luh di depan dengan gue, tunjukkan jalan masuk ke Leuweung Hedjo itu!" kata Darmawan dengan suara keras, Ketika kami tiba setelah naik motor dua jam dari tempat kos aku.
"Tidak permisi dulu dengan Sesepuh Desa atau melapor ke Pos Penjagaan," saranku.
"Nggak perlu!" bentaknya.
Aku berkeringat karena keempatnya membawa senjata api. Aku harap mereka hanya ingin  membuat trek motor trail.  Kami melintasi Curug Beureum dengan meninggalkan banyak kubangan yang digali ban motor trail itu Rupanya semalam turun hujan.  Aku menunjuk jalan setapak ke arah barat curug yang mendaki. Kami memasuki Leuweung Larangan  mengikuti jalan yang aku ingat pernah tempuh di antara pepohonan.
Tidak sampai setengah jam  kami tiba di batas di mana  aku dulu  mengantarkan lutung putih abu-abu kecil itu. Suara burung dan lutung bersahutan di dahan menjadi petanda sudah sampai di titik itu.
"Aku hanya tahu sampai di sini," kataku.