Kembali bongkar catatan harian tentang review film yang saya tulis di diary.  Pada Minggu 2 Mei 2004  saya nonton marathon-istilahnya  teman-teman komunitas KOMiK  di Megaria 21 dua kali berturut-turut.Â
Yang pertama film Thailand Legend of Suriyothai (2001) yang disutradarai oleh Chatricalerm Yukol  jam pertunjukan 15.45 dan yang kedua Ghotika yang ditukangi sutradara favorit saya dari Prancis Mathieu Kassovitz pada jam pertunjukkan malam. Berikut ulasan keduanya melalui pengeditan dan update.
Legend of Suriyothai menjadi menarik karena saya jarang menonton film Thailand  berlatar belakang sejarah.  Thailand pada abd ke 16 sama halnya dengan tanah Jawa pada kurun yang sama berserakan raja-raja kecil (vasal) yang sebetulnya punya hubungan satu dengan yang lain.
Persoalan kecil saja, seperti perebutan perempuan saja bisa menyebabkan pertikaian.  Padahal  bangsa Siam masih menghadapi bangsa Burma terkaitan perebutan hegemoni perbatasan.  Mirip dengan pertikaian antara Aceh dan Johor soal hegemoni laut.
Ceritanya pada 1528 putri Suriyothai  menerima  pinangan Pangeran Tien dari Ayuthoya agar tidak terjadi perselisihan antara Pitshulok tempat asalnya dengan kerajaan itu.  Padahal dia punya kekasih lain Lord Piren.
Masalah mulai muncul setelah raja utama wafat pada 1529, maka raja kedua menggantikannya. Raja kedua tewas karena cacar yang dibawa oleh Kapal Portugis.
Inilah awal pertikaian dan pertumpahan darah di Tanah Siam karena peggantinya Pangeran Artha  dianggap dan tidak kuat oleh Pangeran Chai yang melakukan kudeta berdarah. Dia membunuh Artha yang masih kecil. Chai memang kuat namun salah memillih istri  yang merupakan keturunan seorang raja vasal yang punya agenda politik  agar keturunannya menjaid pengausa Thailand.
Suriyothai menjadi penyelemat dengan bantuan Lord Piren berhasil menumpas  komplotan permaisuri. Namun perang dengan Burma pun pecah dan Suriyothai gugur demi bangsanya. Dia menyelematkan nyawa suaminya dengan menjadi perisainya.
Film ini bukan saja rekaman sejarah tetapi juga sarat denan kultur Thai yang rakyatnya taat pada raja dan Buddha. Mereka percaya karma, Chai yang punya kesalahan membunuh anak kecil, maka dia dan anaknya masih kecil juga terbunuh dalam intrik.
Hanya saja saya mencatat film ini gagal menampilkan sosok Suriyothai  secara mendalam seperti halnya Cut Nyak Dien,  Karakternya malah tenggelam oleh karakter permaisuri jahat  dengan tangan kanannya yang bertarung bak Xena dan sangat militan terhadap junjungannya.Â
Film ini bergaung ke dunia internasional karena prosudernya Francis Ford Coppola. Â Itu sebabnya rasa Hollywood terasa dalam film ini memandang sejarah Thailand sebagai hal yang eksotik. Â Pertarungan dengan gajah merupakan adegan yang menonjol.
Sayang saya tidak terlalu tahu sejarah Thailand bagaimana posisi perempuan dan laki-laki dalam budayanya.  Apakah Suriyothai layak disebut sebagai emansipasi perempuan Thailand? Namun menurut saya Suriyothai sudah jadi kombatan perempuan seperti halnya  dengan Cut Nyak Dien atau Laksamana Keumalayati.
Â
 Review Gothika
"Kamu tidak tahu rasanya terbakar dari dalam!" ucap Chloe (Penelope Cruz) Â pada Miranda (Halle Berry) psikiater yang merawatnya, Chloe dipenjara di rumah sakit khusus karena membunuh ayah tirinya, setelah kerasukan setan. Â Bagi Miranda itu tidak rasional dan menangga peneknan perasaan adalah metode penyemalatan diri.
Miranda masuk penjara dan jadi pasien di rumah sakit itu karena ituduh membunuh suaminya. Â Padahal yang ada di pikiran Miranda waktu pulang memeriksa Chloe menabrak soerang gadis yang dikiranya setan yang merasuki tubuhnya seperti api. Tahu-tahu dia ada di rumah sakit penjara itu. Dia mengalami hal yang sama seperti Chloe.
Â
Belakangan  Miranda tahu arwah gadis itu bernama Rachel putri koleganya yang disangka bunuh diri.  Tahu-tahu Rachel korban kekerasan dari suaminya.  Rachel menggunakan tubuh orang lain untuk membalas dendam.  Apakah Miranda bisa bebas dan membongkar kasus yang tersembunyi?
Kesan saya Mathieuw Kassovitz membuat sebuah film horor klasik dengan plot detektif yang sebetulnya bisa ditebak akhirnya. Â Kalau saja film ini berkisah tentang kepribadian ganda seorang dokter jiwa leih menarik. Penonton mendapat dua sudut pandang dari dua pribadi dari satu orang yang saling menyangkal. Yang satu dia pakai logika psikiatrinya dan satu karena dia sakit. Tetapi itu tidak dimbil Kassovitz.
Namun Kassovitz mempertahankan ciri khasnya tokoh-tokoh yang lintas ras seperti yang membuat saya jatuh hati seperti film L'Hanie (1995) di mana tokoh utamanya keturunan Arab Prancis yang mengalami perlakuan rasialis. Â Dia juga sinis terhadap orang yang hidupnya mapan tetapi justrtu tokoh anatagonis atau penjahat yang sebetunya.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H