Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Kecanduan Gawai, Salah Siapa? Ini Masalahnya

28 April 2024   17:53 Diperbarui: 28 April 2024   17:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: infojateng.id

Saya pernah kecanduan game komputer yang berjaringan ketika masih ada warung internet ya, sekitar 2000-an yaitu main Counter Strike. Hanya saja karena  sewanya per jam, saya bisa mengontrol berapa jam main, biasanya tidak memotong waktu Salat dan kalau lagi libur kerja.

Misalnya Habis Zuhur dan makan siang hingga Azan Asar atau Bada Asar hingga azan maghrib.  Pokoknya begitu terdengar azan berhenti.  Kalau malam, habis makan dan Salat Isya hingga sekitar pukul 10 malam. 

Kalau main counterctrike baik sendirian maupun dengan kelompok, paling banyak 10 Map.  Apa asyiknya main counterstrike? ya, lepaskan energi dan naluri agresif, melampiaskan kemarahan karena berbagai masalah.  Kalau ada orang yang aku sebal maka  aku bayangkan yang jadi counter strike atau teroris sebagai dia, tembak dan habisi, misalnya. 

Saya tidak sendiri. Waktu ada yang sebal sama Amerika Serikat dia gunakan nick name sebagai Osama (tandanya simpatisan Osama) dan lawannya George W. Bush.  Kalau lawannya  terkapar, maka dia bersorak: Hore Amerika kalah! Padahal yang menemukan internet ini orang Amerika.

Jadilah  warnet  itu penuh dengan  sumpah serapah yang bisa keluar dengan bebas.  Namun sesudah keluar dari warnet umumnya merasa lega.   Memang sih ada yang kuat main 12 jam, tetapi biasanya  hanya untuk  main game dan sudah grupnya.

  

Memang ada yang menggunakan untuk akses situs yang tidak baik, petugas pusat kontrol komputer di warnet akan segera tahu dan akan mematikan aksesnya.  Itu kalau warnet.  Tetapi yang dikontrol hanya usia di bawah 18 tahun.  Ada yang nanyakan KTP kok.

Nah yang usianya  di atas itu, setahu saya tahu diri.  Mereka baru akses di atas 9 malam (jujur saya pernah) ketika anak-anak sudah tidak ada dan langsung menghapus history-nya hingga tidak terlacak pemakai komputer itu pada keesokan paginya.

  

Tetapi itu dulu sebelum ponsel cerdas android menjadi digaya dan akhirnya membuat warnet runtuh  saya kira setelah 2015 dengan berakhirnya era Blackberry. Saya nggak pernah lagi ke warnet setelah kerja di media daring (online).

  

Saat itulah yang namanya gawai dengan internet, game online menjadi candu karena setiap individu makin bebas mengakses sistus apa saja  dan bisa di mana saja.  Anak-anak juga bisa, bahkan usia lima tahun sekalipun.   Anak-anak generasi 1990-an ke atas lebih jago dengan gawainya daripada yang sebelumnya.

Apa yang mereka akses tidak akan bisa dicegah bahkan oleh otoritas sekalipun dengan mengendalikan kata kuncinya, karena ada banyak kata kunci lainnya bisa digunakan untuk mengakses.  Otoritas hanya bisa membuatnya jadi tidak terlalu mudah.

Sebetulnya saya yakin  awalnya anak-anak itu tidak tahu, sampai ada yang memberitahu. Media mainstream secara tidak sadar mempromosikan lewat berita viralnya soal yang berbau skandal itu.

Saya geli ada yang merasa sopan dengan membuat  nama yang tersangkut skandal  jadi inisial tetapi berapa jam kemudian nama pun disebut media lain dengan lengkap.  Lalu video pun tersebar dengan cepat.

Kecanduan Game Online Salah Siapa?

Kalau ada artis atau ibu-bu dari kalangan menengah atas  yang mengeluh karena karena anaknya kecanduan game online hingga menghabiskan belasan hingga puluhan juta rupiah patut dipertanyakan bagaimana bisa tidak terkontrol? Bagi Aku ini aneh, bagaimana Si Anak punya akses kartu kredit orangtuanya untuk biaya mengunduh?

Uang yang begitu besar habis untuk hal yang tidak terlalu berguna bagi anak-anak yang usianya di bawah umur.  Bahkan bisa menimbulkan persepsi di benak anak  bahwa mendapatkan uang itu mudah.  

Saya pernah punya pengalaman menjaga keponakan waktu umurnya balita meminjam laptopku untuk melihat video youtube, karena dia belum dibelikan ponsel cerdas oleh orantuanya.  

Pada waktu itu Si Bocah dititipkan ke rumah kami habis pulang sekolah.  Ketika tahu saya punya laptop dan akses internet, dia minta nonton Youtube. Oke, kata saya.

Gampang saja bagi saya untuk membatasi agar tidak berlebihan, karena kontrol hotspotnya di ponsel saya, ya jamnya saya batasi. Dia  boleh pakai laptop saya  setelah bada Asar hingga setengah jam sebelum maghrib. Jatuhnya kira-kira dua jam, setelah itu akses internet saya matikan.   Lalu malam laptop saya periksa, keponakan saya akses apa saja lewat jejak history.

Kini setelah dibelikan ponsel sendiri, maka dia gemar sekali  dengan video youtube. Untungnya keponakan saya tidak  tahu cara akses game online.  Biaya kuota untuk internet termasuk nonton video youtube  tentunya cukup besar dan bagi saya sama dengan biaya internet untuk kerja.

Pemborosan ini terjadi karena banyak orangtua dari kalangan berada sibuk dan memberikan gawai pada anak adalah cara memberikan kesibukan- pada anak-anak mereka, di luar mereka belajar dan memang ampuh.  Pada sisi lain televisi sudah membosankan bagi anak-analk toh ada layanan streaming di ponsel kalau mencari hiburan di luar main game dan nonton Youtube.

Itu juga kesalahan stasiun televisi mainstream dengan sinetron dan tayangan infotainment , sekalipun ada serial seperti " Upin dan Ipin", "Marsha dan Beruang" yang diulang-ulang episodenya. Inovasi untuk acara anak-anak hampir tidak ada. 

Film untuk anak-anak pun di bioskop berapa banyak? Jadi ke mana anak-anak cari hiburan?  Pemerintah punya uang nggak untuk buat konten anak-anak dan meminta stasiun televisi memutarnya kalau perlu tanpa iklan.

Makin Terbatasnya Ruang Publik

Loh, ini kan kehendak zaman, cetus seorang kawan. Iya,  keberadaan gawai memang keniscayaan, memang betul.  Tetapi  bagi anak-anak dan remaja mendatangkan masalah yang lain bahkan mencerminkan masalah yang sebenarnya:  Semakin terbatasnya ruang publik untuk bermain.

Dulu zaman saya kecil di kawasan Tebet Jakarta, seminggu dua kali  pulang sekolah SD main sepak bola karena lapangan begitu banyak bertebaran.  Ketika main ke rumah kakak Ibu di Bandung, juga main sepak bola dengan anak-anak sekitar Cicendo.  Lapangan gratis masih banyak.

Kalau sekarang?  Banyak lahan kosong menjadi bangunan komersial.  Memang masih ada taman yang direvitaliasi di Jakarta, Bandung dan berapa kota bisa menjadi tempat interaksi publik, untuk bocah di bawah lima tahun ada ayunan, main perosotan, tetapi untuk menghabiskan energi sudah tidak banyak.

Saya menduga jangan-jangan prestasi sepak bola Indonesia -terlepas dari apa yang dicapai Shin Tae Young dengan PSSI U23-juga terkait dengan terbatasnya lapangan untuk bermain bola.  Beruntung untuk lapangan bulutangkis masih ada tempat di perkampungan karena tidak membutuhkan lahan yang luas.  Jadi bisa dijawab kan mengapa bulutangkis bisa terus berprestasi.

Saya sih setuju kalau gawai hanya boleh diberikan pada mereka usianya paling sedikit 13 tahun (SMP), itu pun dikontrol.  Di bawah usia itu juga bisa dan dibatasi.  Namun untuk mengalihkan energi mereka  itu yang jadi tanda tanya. 

Jadi anak-anak itu disuruh apa dong kalau orangtua dan kalangan pendidik ingin anak-anak tidak kecanduan gawai, ketika saluran untuk menyalurkan energi anak lain semakin minim? Lalu otoritas apa tanggungjawabnya? Jangan buat hanya membuat kawasan komersial.

Irvan Sjafari  

 

Foto:

Ilustrasi:  https://infojateng.id/read/16526/cek-kenali-tanda-tanda-kecanduan-gawai-pada-anak/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun