Politik
Salah satu perubahan politik  masa itu, yaitu Gubernur Sudiro mengangkat raja-raja menjadi pegawai pamongpraja yang statusnya dijamin. Pilihan lain tetap menjadi raja, tetapi sewaktu-waktu bisa disingkirkan rakyatnya. Umumnya memilih jadi pegawai.  Sementara pada masa Hindia Belanda raja-raja dibiarkan menjadi raja.
Swapraja di kewedanaan Poso ada empat, yaitu Poso, Todjo, Lore dan Una-una. Sementara di Kewedanaan Luwuk terdapat  swapraja, Banggai dan kewedanaan Kolonedale swapraja More dan Bungku.
Kabupaten Poso diperintah oleh seorang bupati dengan satu dewan pemerintah (DPD) yang terdiri dari empat orang. Ketuanya Kepala daerah sendiri. Â Dua anggota DPD dar PNI dan dua lain dari Masyumi dan PSII. Â Sementara DPRD mempunyai 20 anggota, 4 Masyumi, 4 PNI, 4 PSII, 3 Parkindo dan lainnya anggota pemerintahan.
Laporan ini juga menyinggung pada 1954 PNI dan Masyumi Cabang Luwuk-Banggai  telah mengajukan tuntutan  supaya daerahnya diberikan status setingkat kabupaten.  Dulu tuntutan pernah dilakukan tetapi akhrinya lenyap.  Tuntutan ini terinspirasi daripemberian hak otonomi seperti yang dituntut Bolaang Mongondow.Â
Mereka menganggap lebih berhak dari Bolaang Mongondow karena penduduknya lebih banyak. Luwuk pada 1954 berjumlah 120 ribu lebih banyak dari Bolaang Mongondow  sekitar 116 ribu jiwa.
Ekonomi
Â
Sumber ekonomi Poso ialah pertanian, hasil hutan dan kopra. Angka-angka itu sampai 1954 menunjukkan hasil hutan seperti kayu hitam, kopal, damar dan rotan 3.071 ton. Â Poso juga sudah mengekspor 5.500 sampai 6.000 ton kopra.
Kenyataanya 90 persen dari perekonomian dikusai orang Tionghoa dan Arab. Ladang dan sawah kepunyaan rakyat, begitu juga hasil hutan. Namun yang mendapatkan keuntungannya orang asing.Â
Hanya saja dalam laporan Kamah dimuat  keterangan Kepala Seksi Perekonomian pada Dewan Pemerintahan Sulawesi Tengah Laborahima  daerah itu aman dan tenteram.  Saya sendiri tidak menemukan catatan adanya konflik antara pedagang pendatang dengan penduduk setempat.