Pada 3 November 2005  saya menonton  The Brothers Grimm di sebuah bioskop di Depok. Ulasan film ini saya tulis di diary pada hari yang sama dan pada waktu itu bertepatan dengan Idul Fitri 1 Syawal 1426 H.
Tulisan ini merupakan dokumentasi berikutnya yang saya ungkapkan untuk publik melalui Kompasiana setelah melalui pengeditan.
Review The Brothers Grimm
Film ini berkisah tentang dua bersaudara Jacob dan Will Grimm menaklukan seorang "Ratu Sihir" dari daerah Marbedeen, Jerman yang menggunakan 12 gadis dari desa dekat hutan untuk mendapatkan keabadian.
Jumlahnya harus lengkap dan ritual akan dilakukan pada gerhana bulan. Â Ratu itu digambarkan profilnya mirip vampir dikisahkan hidup 500 tahun.
Film ini memadukan semua unsur yang ada dalam dongeng karya Grimm seperti kacang polong ajaib, Kisah Si Mantel Merah yang diculik serigala, kisah Hansel dan Gretel, Putri yang dibangunkan oleh ciuman "Pangeran" di menara dan kodok yang menjadi pangeran. Â
Yang menjahitnya menjadi satu cerita sutradara Inggris Terry Gilliam yang saya kenal lewat Brazil (1985) dan 12 Monkeys.  Kedua film ini tergolong surealistik. Jadi wajarlah kalau aroma surealllisme juga terasa dalam The Brothers Grimm, memadukan dongeng dan kenyataan.
Setting sejarahnya pendudukan Prancis di bawah Napoleon di Negeri Jerman. Aroma politiknya tercium ketika seorang jenderal tentara Prancis ingin membongkar kasus hilangnya sejumlah gadis di sebuah desa.
Niatnya bukan karena hendak menolong atau melindungi warga desa, tetapi cerita hilangnya para gadis itu bisa membuat wibawa Pemerintah Prancis merosot sebagai superior.
Gilliam membuka cerita dengan pertengkaran antara dua kakak beradik karena salah satu menukarkan kacang polong dengan sapi. Â Cerita ditutup dengan kembalinya kedua belas gadis dan penduduk desa menari bersama Grimm bersaudara.