Pada masa itu sangat sulit mencari anggota, karena siapa yang ingin berkegiatan di alam bebas atau bisa dibilang buat apa naik gunung keluar masuk hutan mencari bahaya.
Pada masa itu  sekalipun pemberontakan DI/TII sudah mulai surut, hutan dan gunung  masih ada yang digunakan sebagai markas DI/TII.
Kondisi ini menyebabkan, awalnya pengumpulan anggota Wanadri dilakukan dengan merekrut teman ataupun sanak saudara. Â Akhirnya terkumpul 31 orang yang kemudian disebut Pelopor.
Dalam artikel di Pikiran Rakjat tersebut diungkapkan Wanadri  dapat diminta keterlibatannya untuk operasi SAR, yaitu  melakukan pencarian apabila ada pesawat jatuh. Wanadri bisa juga diperbantukan pencarian orang yang hilang di hutan.
Namun hingga Maret 1969 Wanadri belum diikutsertakan dalam operasi SAR. Sekalipun hingga waktu sudah 15 anggotanya ikut pendidikan SAR.
Sejak Januari 1964 hingga Maret 1969, Wanadri sudah melakukan 20 perjalanan yang dilakukan tim yang terdiri dari 5 orang. Â Perjalanan itu antara lain pendakian Gunung Rinjani (Lombok), Gunung Agung (Bali), Gunung Semeru (Jawa Timur), seluruh gunung terkemuka di Jawa Barat, penjelajahan Ujung Kulon hingga Panaitan.
Pada 1967 bersama Gapokerta, Wanadri melaksanakan Proyek Api Cita, pembukaan pertanian di di wilayah Bayah Banten Selatan.
Di luar itu pada 1968 Wanadri mengadakan kegiatan yang disebut  Musim Pendakian Gunung (Wanadri Season) dengan 16 tim.  Mereka tersebsar melakukan pendakian Gunung Slamet, Anjasmoro, Welirang, Arjuno, Blauran, Dempo dan Merapi Kecil di Sumsel.
Mapala
Pada tahun yang sama sejumlah mahasiswa UI mendirikan Mapala pada 12 Desember 1964. Mapala UI merupakan wadah bagi mahasiswa Universitas Indonesia untuk berkegiatan di alam bebas, berkontribusi bagi masyarakat, serta peduli terhadap pelestarian lingkungan.
Mapala UI berdiri di Bukit Ciampea, Bogor. Nama yang digunakan waktu itu adalah Mapala Prajnaparamita. Prajnaparamita diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti Dewi Pengetahuan. Mapala juga bermakna berbuah atau berhasil.