Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pileg 2024, Partai yang Mungkin Lolos dan Harusnya Ada di Parlemen

16 Februari 2024   09:20 Diperbarui: 16 Februari 2024   09:28 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau seandainya  hasil quick count itu sebangun dengan real count dalam pemelihan umum legislatif 2024 (Pileg 2024) maka hanya 8 atau paling banyak 9 dari 18 partai yang lolos dari ambang batas parlemen  yaitu 4% suara untuk menempatkan wakilnya di Senayan.  

Hasil quick count Litbang Kompas per 15 Februari 2024  pukul 15.43 WIB menempatkan ada empat partai politik  yang memperoleh suara di atas 10 persen  dalam Pileg 2024. Baca: Kompas 

Ketiga partai itu masing-masing PDI-Perjuangan 16,29%, Partai Golkar 14,65%, Partai Gerindra 13,55% dan  Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB (10,83 persen) menempati tiga teratas Pileg 2024 menurut quick count.

Sementara empat partai antara 5 hingga 10 persen, yaitu  Partai Nasdem dengan angka 9,75 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS)  8,45 persen, Partai Demokrat: 7,61 persen dan PAN 7,06%.

Sisanya di bawah 5%, termasuk PPP mendapatkan 3,91%  walau masih unggul menembus 4%.  Yang lain Perindo, PSI, Hanura, PBB , Partai Buruh dan sejumlah partai baru sulit untuk lolos.

Bagi saya hasil ini menimbulkan tanda tanya terutama untuk partai baru, seperi Partai Ummat, Partai Buruh, Partai Gelora, Partai Garuda dan PKN,  seperti terlalu  terburu-buru untuk bertarung pada Pemilu 2024?  

Beberapa di antara partai baru  ini didirikan tokoh-tokoh yang sakit hati terhadap partai mereka sebelumnya.  Mereka tidak sabar untuk ikut bertarung dan tampaknya terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.  

Saya punya kesan partai-partai baru ini tidak membangun basis konstituen, serta platform yang kuat dulu.  Basis Partai Ummat itu mau mengambil massa PAN atau Gelora mau mengambil masa PKS? Iya, nggak bisa buru-buru seperti itu.

Partai Buruh dan Partai Hijau Harusnya Ada di Parlemen

Tetapi di antara partai yang kemungkinan tidak lolos, yang menarik ialah Partai Buruh seharusnya mendapat basis massa yang bagus karena jumlah buruh Indonesia begitu besar, kalau pengertiannya bukan buruh pabrik. Sayangnya persepsi yang ada di sebaian masyarakat  yang disebu buruh  itu yang kerja di pabrik.  Sementara karyawan dan pegawai kantoran tidak mau disebut buruh.

Padahal  buruh adalah kekuatan politik yang bisa signifikan di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, jumlah buruh di Indonesia sebenarnya terus meningkat. Data yang dirilis BPS menunjukkan pada  2008 proporsinya 27,5 persen, sedangkan pada tahun 2017 mencapai hampir 40 persen populasi penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Dari 40 juta lebih pekerja yang bekerja dalam sektor formal, menurut data yang dilansir Kementerian Ketenagakerjaan (2017) mencatat hanya ada sekitar 2,7 juta orang yang terdaftar sebagai anggota serikat pekerja.

Terlepas dari tingkat akurasi data tersebut yang masih diperdebatkan, dalam realitas politik Indonesia saat ini, suara buruh selalu dijadikan rebutan partai-partai politik saat pemilu.

Partai Buruh di Indonesia bukanlah seperti di negara Eropa atau di Australia. Menurut peneliti Ilmu Administrasi Negara dari Universitas Lampung Dodi Faedlulloh (2019) cikal bakal gerakan buruh di Indonesia bukan transisi dari masyarakat feodal ke kapitalisme industri seperti di Eropa.

Kehidupan masyarakat Indonesia demikian kental dengan budaya primordial, maka hal-hal terkait etnis, agama, dan kelompok lebih dominan dibanding isu buruh.

Buruh bukanlah kelompok yang solid. Hal ini terjadi karena dampak warisan dari otoritarianisme Soeharto yang menyebabkan buruh terlalu terpecah belah dan tidak bisa mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok. Buruh tidak memiliki rasa kebersamaan sebagai kelompok dan buruh seringkali justru terjebak dalam gaya hidup konsumtif.

Organisasi buruh dianggap tetap lemah meskipun telah lahir peraturan yang menyediakan payung bagi lahirnya pelbagai serikat buruh. Bukannya membantu lahirnya organisasi buruh yang independen, peraturan yang ada justru dianggap sebagai pemecah belah gerakan buruh.

Pada  1999, terdaftar 68 serikat buruh tingkat nasional di Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Angka itu melonjak tajam menjadi 115 serikat buruh pada tahun 2002. Menyadari pentingnya gerakan yang kuat, beberapa serikat buruh bergabung dalam konfederasi.

Hingga akhir 2014, terdapat tiga konfederasi, yakni: Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Di sisi lain, terdapat puluhan serikat buruh, baik gerakan yang murni dilakukan oleh buruh maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang perburuhan.

Fragmentasi dalam tubuh gerakan buruh mengakibatkan kooptasi oleh partai-partai politik besar. Kooptasi ini bisa kembali menciptakan kondisi politik "penitipan aspirasi" buruh kepada partai-partai yang ada, yang selama ini jelas tidak pernah efektif.

Elite politik oligarki tidak pernah peduli dengan persoalan buruh, bahkan para elite justru malah merampas dan menunggangi gerakan buruh untuk kepentingan jangka pendek mereka

Buruh diasosiasikan sebagai kelompok yang sering membuat macet jalan, buat keributan dan sebagainya. Buruh disebut sebagai pihak yang tidak tahu diri, karena banyak menuntut kenaikan upah yang dinilai akan mengancam masa depan ekonomi (investasi) Indonesia.

Padahal, perlu diakui bahwa banyak hasil perjuangan buruh yang diperoleh dan dirasakan langsung sekarang oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai karyawan/pegawai delapan jam kerja, tunjangan hari raya (THR), jaminan sosial, cuti hamil dan sebagainya. Semuanya bisa didapat bukan karena kebaikan korporasi, tapi melalui perjuangan yang berdarah-darah.

Seharusnya Partai Buruh bisa jadi partai alternatif dan harus ada   ada di parlemen. Partai Buruh bisa meniru PKS membangun basis dari masjid ke masjid dengan membangun basis dari serikat buruh ke serikat buruh, semacam cluster-cluster.

Partai Buruh walaupun gagal pada Pemilu 2024, tetapi masih jelas apa maunya, dibanding partai-partai yang didirikan orang-orang yang sakit hati. Partai-partai yang kehadirannya bagi saya hanya bikin banyak suara terbuang, dapat di bawah 1%.

Partai lain yang seharusnya ada di parlemen Indonesia ialah Partai Hijau.  Sebenarnya sudah ada Partai Hijau Indonesia, tetapi dalam sebuah diskusi yang saya hadiri beberapa waktu lalu para personelnya memilih tidak ikut bertarung pada 2024.  

Strategi yang cerdas untuk tidak buru-buru dan grasak-grusuk  tanpa pembenahan basis konstituen.  Selama ini basis partai ini hanya NGO dan sejumlah aktivis lingkungan.  Ini yang nggak dilakukan partai baru. 

Partai Hijau Indonesia bisa membangun basis di kalangan milenial seperti rekan-rekan mereka Eropa yang sadar bahwa mereka yang menanggung akibatnya kalau kerusakan lingkungan hidup dibiarkan masif. 

Pemilu 2029 adalah saat yang tepat bagi partai ini untuk terjun ke pemilu dan harusnya ada di parlemen. Bagi saya mereka cukup meraih 5% suara, tetapi bisa jadi pressure grup di parlemen.  Di Jerman Partai Hijau mampu meraih 14% suara dan punya kursi signifikan.

Bagaimana dengan Partai  Berbasis Minoritas?

Bagaimana dengan Partai Katolik atau Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang dulu pernah ada pada 1950-an untuk memperjuangkan minoritas?  Sudah pernah dicoba buat Partai Damai Sejahtera pada 1999 lumayan dapat 5 kursi.  Tetapi setelah itu tidak terdengar.

Ini sama dengan pertanyaan saya pada  teman-teman saya warga negara Prancis kan di negerinya jumlah muslim cukup banyak, mengapa nggak membuat partai Islam di sana? Mereka jawab untuk apa? Muslim di sana lebih baik memilih partai sosialis yang memperjuangkan ekonomi masyarakat bawah, lebih signifikan. 

Menarik sih kalau partai ini ada, tetapi dengan aturan parlemen threshold 4%, lebih baik minoritas agama ini memberikan suara pada partai-partai plural, toh partai berbasis massa Islam pun seperti PAN dan PKB juga menjalankan kebijakan yang inklusi.

Kalau sih melihat paling-paling perda syariah yang kerap jadi polemik hanya ada di daerah tertentu dan tidak akan berlaku secara nasional. Anggap saja menghormati kearifan lokal.  

Bagaimana dengan berbasis suku seperti etnis Tionghoa, itu lebih tidak efektif, karena Indonesia bukan Malaysia.  Jumlah dan sebarannya tidak terlalu signifikan.  Saya pernah baca wawancara dengan salah seorang politisi etnis Tionghoa dari sebuah partai berbasis massa Islam yang mengatakan lebih baik seorang etnis Tionghia  masuk ke parpol yang inklusi dan berkiprah di sana untuk memperjuangkan aspirasinya. Toh politisi etnis Tionghoa yang beragama non muslim terbukti lolos di dapil yang juga mayoritasnya muslim.

Lagipula kan masalahnya kesenjangan ekonomi, selama tidak ada keadilan ekonomi, ya masalah ras akan terus mencuat.  Hal inilah yang harus diperhatikan oleh mereka yang masuk parlemen baik tingkat nasional maupun daerah.  Para wakil rakyat ini benar-benar harus memperjuangkan konstituennya.  Mereka juga harus merakyat, seperti kata lagu Iwan Fals.

Jadi selamat pada 8 atau 9 partai yang masuk, kiprah Anda semua ditunggu. Mudah-mudahan Anda benar-benar memperjuangkan konstituen dan hidup merakyat. 

Irvan Sjafari

Sumber Lain

Dodi Faedlulloh, "Kegagalan Gerakan Buruh dan Partai Buruh dalam Era Reformasi" dalam    Politica Vol.10 No.2 November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun