Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ricuh Biaya Kuliah di Bandung 1969, Dewan Mahasiswa Melawan

12 Februari 2024   17:12 Diperbarui: 12 Februari 2024   17:46 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan uang kuliah perguruan tinggi bukan hal yang baru di Indonesia. Pada awal 1969 di kota Bandung tempat di mana sejumlah perguruan tinggi kondang berada persoalan  kenaikan biaya kuliah menjadi isu utama mahasiswa setelah konflik politik akibat peristiwa 1965 mulai  mereda.

Pikiran Rakjat 11 Januari 1969 melaporkan hanya sekira 2.600 lulusan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) yang mengikuti ujian saringan ITB.  Jumlah ini nyaris separuh dari mereka yang ikut ujian saringan 1968 sekira 4.200.

Panitya ujian saringan ITB waktu itu  kepada Pikiran Rakjat mengungkapkan naiknya besaran uang kuliah ITB  dirasakan berat bagi para lulusan SLA.

Pada 1969 ITB menetapkan uang pangkal untuk berapa bagian di ITB berkisar antara Rp2.000 hingga Rp50.000 atau lebih. Uang pangkal itu belum termasuk uang kuliah Rp2.500 hingga Rp7.000 per semester.

Jumlah uang pangkal berbeda antar tiap bagian. Yang paling sedikit  adalah bagian Matematika, Fisika, Geofika, Metereologi, Astronomi, Geodesi, Biologi dan Kimia.

Pada Januari itu Dewan Mahasiswa ITB dan Dewan Mahasiswa  Universitas Padjadjaran  mengadakan pertemuan untuk membahas uang kuliah.

Ketua DM ITB Wimar Witoelar menyampaikan masalah uang kuliah ini  harus mendapat perhatian serius dari semua pihak.  "Persoalan uang kuliah dan uang masuk ITB hanya akan mengakibatkan bertambah pintarnya orang-orang kaya dan orang miskin semakin bodoh," ujar Wimar pada  Pikiran Rakjat, 14 Januari 1969.

Dewan Mahasiswa  ITB memandang pungutan itu dirasakan berat oleh orang-orang  yang berasal dari  luar Pulau Jawa yang akan meneruskan kuliahnya di Jawa.  Wimar menyebutkan pihaknya memang tidak bisa menutup mata kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah dewasa ini.

Seorang mahasiswa Bernama Mustafa dari Tamansari, Bandung mengatakan pungutan Rp5000 per semester, itu  belum  termasuk pembayaran pratikum.  Hal ini memberatkan anak pedagang, prajurit dan petani.

"Jangan sampai  yang menjadi sarjana kelak hanya dari kalangan orang berduit saja.  Menurut hemat kami kurang adil.  Bencana yang menimpa perguruan tinggi merupakan bencana nasional.  Hal ini tidak sesuai dengan Pancasila," demikian pernyataan DM ITB.  

Masih pada Januari 1969 dikutip Pikiran Rakjat 23 Januari 1969, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Konsulat Bandung menggelar seminar bagaimana mahasiswa menghadapi masalah uang kuliah.  Di Bandung uang kuliah berkisar Rp2.000 hingga Rp20.000 setahun dan uang pangkal antara Rp50 ribu hinga Rp100 ribu,  Kenaikan mencapai 2.000%.

Mahasiswa juga mendapatkan beban berat, sebut Dewan Mahasiswa  IKIP Bandung dalam pernyataan yang dikutip Pikiran Rakjat 27 Januari 1969  menolak dengan tegas  keputusan Rektor IKIP menetapkan uang pembayaran regesterasi  bagi mahasiswa lama Rp3.000  memberatkan kehidupan mahasiswa.

DM IKIP mengadakan survei terhadap mahasiswa di kampus Bumi Siliwangi itu termasuk yang indekos, haislnya 80 persen menunjukkan wesel yang diteirma mahasiswa dari Agustus hingga Desember 1968 berkisar Rp.3000 ke bawah.

Selain itu ada 125 mahasiswa IKIP dalam tugas belajar dan 60 persen di antara mereka sudah berkeluarga dan mempunyai anak lebih dari satu.  Survei menungkapkan Ikatan Dinas  yang dibeirkan mahasiswa  dari pemerintah untuk membantu hanya berjumlah Rp1.502,08 bagi tingkat sarjana.  Sementara bagi tingkat sarjana muda Rp1.158. Mereka bekerja sebagai guru.

DM IKIP memberikan usulan agar mahasiswa lama hanya dikenakan penarikan Rp1.500 dan mahasiswa baru Rp.5.500.  dalam pengertian  uang iuran itu Rp.1000 dari mahasiswa dan Rp4.000 merupakan pinjaman dari mahasiswa yang akan dikembalikan setelah mereka menyelesaikan pelajaran.

Tuntutan lebih keras dilayangkan DM ITB pada Februari 1969 yang menuntut perubahan alokasi budget untuk ITB  kepada pemerintah.  DM ITB setelah menggelar Majelis Permusyawaratan Mahasiswa ITB  menyampaikan bahwa alokasi yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan ITB. Mereka akan mengirim delegasi ke Jakarta.

Budget rutin untuk ITB hanya Rp52 juta jauh di bawah kebutuhannya berjumlah Rp250 juta.  Sidang mendesak kepada rektor unuk menerima pembayaran Rp50 per kredit lebih dahulu. Sementara pimpinan ITB menginginkan pembayaran Rp200 per kredit. Jika desakan itu gagal maka seluruh mahasiswa ITB tidak akan melaksanakan keputusan rektor.   

Keputusan MPM ITB itu dikeluarkan pada 25 Februari 1969.   Hingga hari itu tidak ada mahasiswa ITB yang melakukan pembayaran.  Bahkan seluruh civitas akademika ITB akan melakukan mogok kuliah apabila tuntutan para mahasiswa soal perubahan budget tidak dikabulkan, demikian dilaporkan Pikiran Rakjat 26 Februari 1969.

Pada 1960-an memang biaya hidup mahasiswa perantauan yang sederhana pun berat. Indonesia Djaya pada 17 Januari 1965 sekalipun empat tahun sebelumnya), tetapi  saya kira tidak terlalu jauh beda dengan kehidupan 1969 menyebutkan sebagai berikut.

Biaya hidup seorang mahasiswa ITB per bulannya antara lain: Biaya sewa kamar Rp12.000, beras 20liter +lauk pauk yang sangat sederhana Rp275. Itu masih ditambah biaya listrik air, lilin, minyak tanah, sabun mandi dan odol, biaya untuk potong rambut, arang untuk setrika (dulu masih setrika arang). 

 Masih belum termasuk biaya alat tulis, gambar, uang ujian, praktikum, alat kecantikan, menonton, rokok.  Kalau mau pacaran tambah lagi biayanya.

 Namun pada masa itu  harus dicatat merupakan transisi dari Orde Lama ke Orde Baru di mana ekonomi Indonesia masih belum pulih dari keterpurukan, masih masuk akal perguruan tinggi membutuhkan biaya besar untuk mendukung pengembangan infrastruktur.

 Pada sisi lain  menurut Mela Mita Setiana (2014) pada Repelita I (1969-1974) tingkat kesadaran akan pendidikan pada perguruan tinggi hanya dapat mencapai 1% penduduk.  Jumlahnya sekitar 329.000 mahasiswa yang terdaftar di lembaga perguruan tinggi negeri dan swasta.

Biaya pendidikan di Indonesia masih menjadi permasalahan yang yang harus segera mendapatkan perhatian kala itu. Jangankan untuk Pendidikan tinggi, untuk sekolah dasar dan menengah saja,  masih banyak anak-anak yang tidak dapat sekolah dikarenakan biaya pendidikan yang melambung tinggi.

Tetapi membaca sumber primer masa itu rasanya saya salut dengan Dewan Mahasiswa di perguruan tinggi di Bandung berjuang keras untuk teman-temannya yang kurang beruntung sulit membayar biaya kuliah.  Mereka berani menekan perguruan tinggi masing-masing kalau dirasakan ada kebijakan yang tidak adil.

Saya masih melanjutkan riset Bandung pada akhir 1960-an termasuk juga mahasiswa. Apakah tuntutan mahasiswa dikabulkan? Yang jelas biaya kuliah setelah itu berlahan turun dan program beasiswa dari pemerintah untuk mahasiswa hadir.  

Irvan Sjafari

Sumber Selunder:

Mela Mita Septiana, "Kebijakan Pendidikan Menteri Syarief Thayeb 1974-1978" Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta 2016

 Foto: https://www.hitekno.com/internet/2022/06/04/142536/lihat-foto-mahasiswi-ikip-tahun-70-an-netizen-modenya-kekinian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun