Sejak berapa dekade ini saya hanya membeli pakaian menjelang hari raya atau sesuai kebutuhan tertentu saja, plus kaos hadiah termasuk dari Kompasiana.Â
Celana jins terakhir saya beli dua puluh tahun yang lalu dan jarang dipakai dan kini sudah usang. Pasalnya saya lebih suka pakai celana kargo berbahan parasut  untuk ke lapangan, terutama kalau dipakai solo hiking dan cepat kering kalau basah kena hujan.
Celana bahan seperti untuk orang kantoran saya juga ada, tetapi tidak sebanyak celana lapangan. Karena tidak sering saya pakai jarang rusak, paling celana itu copot kancing atau resletingnya rusak dan bisa saya ganti di penjahit keliling.
Cara berhemat pun di rumah sudah banyak baju yang numpuk, nyaris tak pernah terpakai. Kebanyakan kaos sih. Â Untuk mendonasikan kaos juga tanggung. Kalau sudah robek dijadikan kain pel.
Lalu beli kemeja baru untuk apa? Ada berapa kemeja batik untuk pesta dan acara formal. Ada kemeja kerja kantoran yang jarang saya pakai.
Orang lapangan seperti saya lebih suka kemeja kotak-kotak lengan panjang atau pendek. Itu stoknya banyak. Jadi memang saya beli pakaian sesuai kebutuhan bukan untuk gaya-gayaan.
Tetapi saya bersyukur tidak boros dalam hal berpakaian. Â Pasalnya menurut Program Lingkungan PBB untuk membuat satu celana jins dibutukan 3.748 liter air dengan memperhitungkan produksi kapas, manufaktur, transportasi dan pencucian.
Memproduksi pakaian menggunakan banyak sumber daya alam dan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.
Menurut Fashion on Climate, industri fesyen menyumbang sekitar 2,1 miliar ton emisi gas rumah kaca dalam satu tahun, setara dengan 4% dari seluruh emisi global.
Angka yang mengejutkan ini sebanding dengan gabungan emisi GRK tahunan Prancis, Jerman dan Inggris. Perkiraan ini didasarkan pada data 2018, namun industri ini diperkirakan akan terus tumbuh di masa depan.