Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inspirasi dari Guru Tata Buku dan Hitung Dagang SMA

9 November 2023   20:54 Diperbarui: 10 November 2023   08:56 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.aida.or.id/

Saya masih ingat suatu hari dalam  September 1984, ketika menjadi Ketua Kelas II Sos 4, SMAN 28, Jakarta Selatan  saya meminta rekan saya Ritmanto yang berulang tahun hari itu untuk maju ke depan.  Dia murid pindahan dari SMAN 1 Magelang sekaligus memperkenalkan diri. 

Spontan anak-anak menyanyikan lagu ulang tahun dan pada saat bersamaan Pak Sumardi, Guru Tata Buku dan Hitung Dagang, sekaligus wali kelas kami masuk. Saya mau menghentikan, tetapi dia tidak marah dan malah menyilahkan untuk terus dan selesailah seremoni.

"Ini kebiasaan yang baik," ucapnya yang masih tertanam di benak saya.  Mungkin menurut di acara ini menjalin persahabatan secara positif.

Pembukuan dan administrasi adalah pelajaran yang sulit bagi saya sejak SMP karena butuh pemahaman, ketelitian dan kerapian. Butuh beberapa kali diulang  baru paham. Tetapi tidak demikian dengan Pak Sumardi hanya sekali menerangkan saya langsung memahami.

Hal yang menarik ialah ketika dia menerangkan soal Tata Buku Anggaran, yang modelnya beda dengan tata buku biasa, karena tidak ada laba.  Dalam tata buku ini pemasukan dan pengeluaran dicukupkan.   Menurut dia tata buku ini  biasanya dipakai untuk Yayasan atau organisasi yang nirlaba.  

"Kalian bisa menerapkannya? Misalnya penerimaan uang saku dari orangtua ditambah penghasilan sendiri, kalau ada.  Namun terlebih dahulu pos-pos pengeluaran harus ditentukan dulu, kemudian dicocokan dengan pemasukan," tutur Pak Sumardi.

Diterapkan Sehari-hari

Saya langsung terinspirasi pada awal bulan berikutnya minta saku pada orangtua mingguan. Dulu masuk sekolah 6 hari seminggu.  Biasanya saya dapat sehari Rp1.500 (termasuk ongkos angkot Rp800 pulang pergi) dan sisanya uang saku atau jajan.

Ketika hari Sabtu harus ke Ragunan untuk olahraga ada ongkos lain,begitu juga untuk ekskul PMR.  Akhirnya dibulatkan Rp50 ribu per bulan dengan janji tidak minta lagi. Itu termasuk untuk keperluan beli kebutuhan sekolah atau hiburan.

Lalu saya buat rencana anggarannya dan realisasinya dengan detail.  Misalnya jika beli buku ada bonnya, juga tiket bioskop.  Bahkan kalau diaudit oelh auditor masa itu pun akan pas.  Berhasil, walau pun hanya tahan dua atau tiga bulan,  karena tidak tekun.  

Tetapi saya paham materi yang diajarkan. Akhirnya balik lagi ke harian. Namun kalau itu diterapkan lagi saat ini bisa karena saya mengerti dan ketika jadi jurnalis jadi paham soal anggaran lembaga negara pasti dasarnya tata buku anggaran yang lebih kompleks.

Saya jadi mengerti, mengapa jika ada realisasi pos yang tidak sesuai yang direncanakan, di tahun anggaran berikutnya jumlahnya akan dipotong.  Saya paham mengapa banyak proyek pekerjaan umum dilakukan menjelang akhir tahun agar pas pembukuan.   Itu karena guru saya Pak Sumardi.

Materi berikutnya bagaimana menghitung bunga tabungan di Bank, membuat saya nekat membuka Tabanas di Kantor Pos Pasarminggu. Untuk modal pertama modal orangtua, selanjutnya saya menabung dari sisa jajan mulai ketika harian, Ketika bulanan bila dikasih Paman dan Ayah saya diluar uang saku.

Hasilnya Tabanas masuk dalam hitungan Tata Buku Anggaran untuk pengambilan jika ternyata ada dana di luar dugaan yang meleset dari perkiraan.  Kalau main-main Tata Buku Anggaran hanya tahan dua bulan, Tabanas saya bisa tahan  menjelang akhir kuliah. 

Pak Sumardi menginspirasi saya menabung tanpa petuah-petuah yang cerewet, karena dia kasih hitungan kalau ingin dapat bunga tinggi saldonya di bulan itu tinggi, karena bank menghitung dari saldo terendah. 

Materi-materi yang hampir 40 tahun lalu yang diajarkan Pak Sumardi tertanam di benak masih ingat, sekalipun tidak 100 persen tepat.  Sekarang pun kalau mau saya bisa menerapkannya. 

Itu membuktikan bahwa menjadi guru tidak mudah, bukan hanya sekadar mengajar, tetapi juga membuat murid paham dan kalau bisa menginspirasi. Sudah cara mengajar bagus, Pak Sumardi tidak pernah marah, kalau menegur pun bahasanya lugas dan tidak membentak-bentak.   

Sayang sejak lulus SMA, saya tidak pernah bertemu lagi.  Tetapi menurut saya itu tipikal guru yang seharusnya. Setahu dan seingat saya tidak ada kawan yang menjadikan dia sebagai bahan olok-olok di belakang, lazimnya guru yang tidak disukai.  Bagi saya hanya beberapa guru di SD hingga SMA yang memberikan inspirasi, di antaranya Pak Sumardi.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun