Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perdagangan Karbon Butuh Kolaborasi Multipihak

8 November 2023   11:16 Diperbarui: 8 November 2023   11:39 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dolly Priatna, Direktur Belantara Foundation-Foto: Dok Belantara

Perdagangan karbon merupakan salah satu cara untuk menurunkan emisi yang ditetapkan Perjanjian Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa  (PBB), Protokol Kyoto pada 11 Desember 1997.  

Yang dimaksud perdagangan karbon adalah jual-beli sertifikasi atau izin untuk menghasilkan emisi karbon dioksida atau CO2 dalam jumlah tertentu. Sertifikasi atau izin pelepasan karbon itu disebut juga kredit karbon setara dengan pengurangan atau penurunan emisi sebesar satu ton CO2.

Pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, gas dan minyak bumi), pembakaran hutan, dan pembusukan sampah organik menghasilkan emisi ini.

Para penjual kredit karbon adalah perusahaan atau negara yang kegiatannya mampu menyerap emisi CO2 atau yang kegiatannya menghasilkan sedikit sekali CO2. Contohnya antara lain, perusahaan konservasi hutan; pembangkit energi terbarukan.

Sementara pembeli kredit karbon  adalah industri, negara atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil atau mengkonsumsi energi dalam jumlah besar.

Misalnya, pabrik baja, pembangkit listrik batu bara (PLTU) atau pembangkit listrik gas, pusat data dan sektor transportasi

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC)  lewat perdagangan karbon.

Untuk itu Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK Dalam Pembangunan Nasional.


Peraturan Presiden tersebut salah satunya berisi tentang Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK secara sukarela sebesar 29% dibandingkan Business as Usual (BAU) di tahun 2030 dan sampai dengan 41% dengan dukungan internasional. Dalam upaya pemenuhan target NDC tersebut, sektor kehutanan diharapkan berkontribusi sebesar 17.4% dan sektor energi sebesar 12,5% dari total target NDC.

Dukungan Pemerintah hingga Sektor Swasta

 

Namun menurut  Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna  dalam pelaksanaannya, bukan hanya pemerintah  tetapi komitmen multi-pihak, baik pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat, NGO. Dukungan juga perlu datang dari seluruh aktor kehutanan dan energi.

"Perdagangan karbon dan mitigasi perubahan iklim sangat erat kaitannya, karena perdagangan karbon merupakan salah satu mekanisme berbasis pasar yang digunakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim," ujar  Dolly dalam seminar nasional tentang pengenalan dan perkembangan perdagangan karbon di Indonesia yang digelar secara hybrid di di Ruang Teater Lantai 10 Gedung Graha Pakuan Siliwangi (GPS) Universitas Pakuan di Bogor, 6 November 2023.

Seminar ini bertujuan  meningkatkan penyadartahuan dan pemahaman stakeholders mengenai regulasi dan kebijakan serta prosedur dan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia.

Selain itu seminar ini bertujuan  meningkatkan kapasitas stakeholders terkait penghitungan nilai ekonomi karbon terutama pada sektor kehutanan dan energi, serta bagaimana tata cara perdagangannya melalui bursa karbon yang mekanismenya telah diatur oleh pemerintah.

Regulasi Bertahap

Pada kesempatan yang sama Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional pada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Marjaka  menjelaskan pada presentasinya bahwa sejak Protokol Kyoto bahkan jauh sebelum itu, Indonesia sudah mulai secara bertahap melakukan komitmen untuk penguatan pengurangan gas emisi rumah kaca.

Pada 2015, pemerintah di seluruh dunia berkomitmen lebih kuat lagi untuk pengendalian emisi gas rumah kaca secara global.  Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui Undang Undang No. 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Semenjak itu, Indonesia mendesain berbagai tataran tahap demi tahap regulasi menjadi dasar implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK).  Menurut Wahyu,NEK sangat penting menjadi salah satu dari berbagai regulasi atau substansial yang akan dilakukan Indonesia termasuk di dalamnya dari berbagai sektor NDC.

"Tidak hanya menjadi ukuran komitmen Indonesia tetapi juga menjadi dasar-dasar keberlanjutan di berbagai pembangunan di Indonesia", ujar Wahyu.

Peran Perguruan Tinggi 

Rektor Universitas Pakuan Didik Notosudjono menyampaikan dalam paparannya bahwa insan perguruan tinggi  dapat berkontribusi dalam  upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Caranya dengan memberikanedukasi kepada masyarakat melalui program KKN, PKM, dan MBKM, para dosen dan mahasiswa. Civitas akademika dapat melakukan riset-riset dengan memanfaatkan teknologi terkini, yang dapat membantu dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi lebih efektif.

"Melalui upaya tersebut, harapannya akan muncul kesadaran masyarakat untuk mengurangi emisi GRK," ucap  Didik.

Pada kesempatan berbeda  Riza Suarga, Ketua Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia (APERKARIA) Riza Suarga mengingatkan  kredit karbon tidak serta-merta bisa diperjualbelikan. Kredit karbon yang diperdagangkan harus disertifikasi oleh badan sertifikasi internasional, seperti Verra dan Gold Standard.

Tujuan sertifikasi adalah untuk memastikan penjual kredit karbon berkomitmen pada pengurangan emisi dari hasil penjualan.  Misalnya, perusahaan konservasi hutan tidak menggunakan dana hasil penjualan kredit karbon untuk mengubah lahan hutan menjadi perkebunan sawit yang justru menghasilkan emisi CO2.

"Tanpa disertifikasi, (kredit karbon) tidak bisa dijual karena barangnya tidak kelihatan. Yang dijual adalah kemampuan penyerapan karbonnya. Harga kredit karbon akan menarik jika proyeknya berintegritas tinggi, surveilansnya jelas, dan bukan hoaks," papar Riza seperti dikutip dari VOA.

Irvan Sjafari

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun