Rhyma Permatasari, 29 tahun, Â seorang influencer muda yang bermukim di kawasan Bandung Utara cemas bukan main ketika mengetahui lingkungan sekitar tempat tinggalnya rusak. Yang paling dia khawatirkan ialah mata air akan lenyap tenggelam dalam pembangunan yang kerap mengabaikan lingkungan.
"Saya yakin pada masa depan harga air akan lebih mahal dari emas. Saya khawatir anak saya (saat ini usianya klima tahun usianya, Â tidak bisa menikmati air yang bersih," ujar Rhyma kepada saya waktu jadi jurnalis Koridor.
Rhyma seperti halnya banyak anak muda Indonesia menyadari mereka, anak serta cucu mereka yang bakal menuai akibat kerusakan lingkungan hidup. Rhyma tidak sendiri. Â Saya menemukan sebuah survei dari Lembaga Indikator Politik Indonesia bersama Yayasan Indonesia Cerah pada 2021 Â mengenai persepsi para pemilih dari generasi Z dan generasi milenial terhadap isu krisis iklim di Indonesia. Hasilnya, para pemilih pemula dan muda ini semakin peduli akan isu tersebut.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei berlangsung dalam rentang waktu 6 hingga 16 September 2021. Responden menjangkau usia 17-35 tahun yang tersebar di seluruh provinsi, baik di pedesaan maupun di perkotaan.Â
Kalangan anak muda ini menempatkan lingkungan hidup sebagai salah satu isu yang paling mengkhawatirkan, selain korupsi. Mereka yang mengkhawatirkan lingkungan prosentasenya mencapai 82 persen, sementara yang mengkhawatirkan isu korupsi sebanyak 85 persen.
Urutan permasalahan yang paling dikhawatirkan pada saat  ini  tahun-tahun mendatang terkait iklim dan cuaca adalah cuaca ekstrem (42 persen), penumpukan sampah dan bahan plastik (36 persen), kesehatan (35 persen), penggundulan hutan (33 persen), dan polusi udara (24 persen).
Menurut Burhanuddin, penarikan sampel dalam survei ini menggunakan metode stratified multistage random sampling. Â Sementara jumlah sampelnya mencapai 4.020 responden yang terdiri atas 3.216 orang yang berusia 17-26 tahun, dan 804 orang dengan usia 27-35 tahun. Asumsi metode ini memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sebanyak 2,7 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Bagaimana kenyataan di lapangan di kalangan aktivis lingkungan? Saya menemukan bahwa sejumlah aktivis berasal dari kalangan milenial. Â Sebut saja nama Switenia Puspa Lestari dari Yayasan Penyelam Lestari, alumni Teknik Lingkungan ITB, kelahiran 1994, Valerie Melissa Kowara. Aktivis Extinction Rebellion Indonesia, juga aktivis Partai Hijau Indonesia kelahiran 1988, Nadine Chandrawinata pendiri Tentara Laut, artis kelahiran 1984 dan masih banyak lagi.
Bagaimana dengan di luar negeri? Generasi milenial kini mencakup 20 persen populasi di Eropa. Mereka kerap disebut sebagai 'Generasi Hijau'. Mereka yang lahir antara tahun 80an dan akhir 90an ini senang berbelanja secara royal untuk pembelian yang lebih ramah lingkungan. Mereka cenderung percaya bahwa manusia mempunyai peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Di Jerman Generasi ini  membuat Partai Hijau Jerman menang 15 persen suara hingga puya bargaining untuk ikut kolasi pemerintahan.
Pertanyaannya apakah ada Partai Politik di Indonesia dan para kandidat Presiden dan Wakil Presiden untuk Pilpres 2024 menyentuh persoalan lingkungan hidup?Â