Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Semeru-Bromo hingga "The Beach" Leonardo DiCaprio

8 Oktober 2023   15:36 Diperbarui: 8 Oktober 2023   15:58 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PBB mendefenisikan pariwisata berkelanjutan sebagai "pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial dan lingkungan. Bagaimana dengan Semeru-Bromo dan Maya Bay lokasi syuting film The Beach?

Bagi Anda yang baru pertama kali mendaki gunung jangan terkejut kalau ekspedisi tidak bisa berlanjut karena jumlah pendaki sudah berjalan melebihi kapasitas daya dukung gunung tersebut.

Trianko, aktivis komunitas Gimbal Alas yang berbasis di Jawa Timur mencontohkan untuk pihak pengelola membatai maksimal pendakian dalam sehari yaitu 600 orang.  Bahkan pada saat pandemic dikurangi lagi hingga  hingga 180 orang pendaki  per hari.

"Dulu ketika tidak ada pembatasan, jumlah tenda di Ranu Kumbolo mencapai ribuan dengan total pendakinya melebihi  3000 orang.  Hal ini sangat mengganggu terutama pencemaran mulai sampah, air danau tercemar, kebisingan dan banyaknya kotoran manusia di lokasi camping," ungkap Trianko, 8 Oktober 2023.

Dia menyampaikan jika hal seperti ini  terus terjadi maka akan mengancam keberlangsungan Gunung Semeru sendiri.  Bukan saja pembersihan dan pemulihan kerusakan yang diakibatkan karena terlalu banyaknya pengunjung.

Apa yang diungkapkan Trianko sebangun dengan laporan dari media Jerman Deutsche Welle (DW) pada 2 Oktober 2023  menyorot isu pariwisata berkelanjutan.

Kasus terbakarnya area Bukit Teletubbies di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur beberapa waktu lalu  menjadi contoh bahwa banyak wisatawan tidak menyadari pentingnya keberlanjutan.   

Terbakarnya areal 500 hektar akibat  kecerobohan pengunjung melaksanakan prewedding menggunakan flare. Tindakan itu  merusak tidak saja ekosistem flora dan fauna, tetapi juga berimbas  pada ekonomi kreatif di sekitar kawasan tersebut.

Penelitian yang dilakukan Joshi Maharani Wibowo1, Sri Muljaningsih  dan  Dias Satria  bertajuk  "Daya Saing Ekowisata Berkelanjutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru" dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 18 No.1, April 2021  menuturkan secara umum Taman Nasional Bromo Tengger Semeru  memiliki tiga permasalahan lingkungan utama yaitu pengunjung yang terlalu banyak (58,93%), sampah (27,68%), dan kotoran kuda (13,39%).

Permasalahan tersebut muncul ketika musim liburan atau ketika sedang diselenggarakan acara tertentu seperti Eksotika Bromo,  Jazz Gunung Bromo, dan Bromo Terbang.

Kunjungan wisatawan saat diadakannya festival atau acara tertentu seringkali  melebihi kapasitas pengunjung di kawasan tertentu seperti Lautan Pasir. Masyarakat lokal percaya bahwa kotoran kuda tidak akan merusak lingkungan TNBTS seperti sampah plastik atau sampah  lain yang sulit terurai.

PBB mendefenisikan pariwisata berkelanjutan sebagai "pariwisata yang memperhitungkan sepenuhnya dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, dengan memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan hidup dan masyarakat tuan rumah.

Menurut DW  pariwisata menyumbang sekitar 8% emisi gas rumah kaca global, dan sekitar setengahnya berasal dari penerbangan ke dan dari destinasi wisata.

Dampak ekologis dan iklim dari overtourism ini memaksa industri untuk bertindak, dan mengikuti jejak beberapa pionir pariwisata berkelanjutan.

Belajar dari "The Beach"

DW mencontohkan terancamnya Maya Bay, sebuah pantai indah di pulau tak berpenghuni di kepulauan Phi Phi Thailand. Pantai ini  menjadi terkenal secara global ketika menjadi lokasi pembuatan "The Beach", film 2000 yang dibintangi Leonardo DiCaprio.

Ribuan wisatawan menyerbu pantai yang berada di antara tebing batu kapur yang luas, teluk terpencil. Armana prahu dan kapal penjelajah membuat pantai dengan pasir putih dan air biru kehijauan  menjadi sesak setiap hari selama hampir dua dekade.

Lalu lintas wisatawan menyebabkan polusi sampah dan merusak vegetasi pantai.  Namun masalah utamanya adalah perahu-perahu yang membuang jangkarnya ke karang di bawahnya.

Akhirnya otoritas Thailand menutup  "The Beach" untuk umum pada 2018. Saat itu hanya terdapat 8% tutupan karang di teluk tersebut, dibandingkan dengan 70% pada 30 tahun sebelumnya.

thethaiger.com
thethaiger.com

Sebuah tim restorasi mulai menanam kembali karang yang rusak untuk merehabilitasi terumbu dalam waktu lima hingga 10 tahun. Perahu harus berlabuh di dermaga baru daripada mendarat di pantai.

Pihak pengelola melarang wisatawan berenang dan membuat trotoar baru untuk  mencegah pengunjung menginjak-injak ekosistem pesisir yang rapuh.

"Ketika Maya Bay akhirnya dibuka kembali pada awal  2022, jumlah pengunjung berkurang dari sebelumnya sekitar 7000 menjadi sekitar 400 per hari, kata Thon Thamrongnawasawat, kepala tim restorasi.

Lanjut Thamrongnawasawat kebijakan ini  adalah salah satu aksi kelautan paling sukses selama bertahun-tahun, tidak hanya bagi Thailand tapi juga bagi seluruh dunia.

Bhutan Naikan Biaya bagi Wisatawan

DW juga mengungkapkan kesadaran pentingnya pariwisata berkelanjutan  membuat Kerajaan Kecil Bhutan di Hilmalaya menginvestasikan pendapatan pajak untuk konservasi dan keberlanjutan melalui penanaman pohon, pembersihan dan pemeliharaan jalan setapak, serta listrik transportasi.

Biaya tersebut telah membantu Bhutan menjadi satu-satunya negara dengan karbon negatif di Asia Selatan karena hutan lindungnya terus menyimpan lebih banyak karbon daripada emisi negara tersebut.

Bhutan juga memperkenalkan  Biaya Pembangunan Berkelanjutan (SDF) sebesar USD65 per wisatawan  sekitar tiga dekade lalu untuk membatasi pariwisata massal di negara pegunungan tersebut.

Dana tersebut juga digunakan untuk mengatasi kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim, yang dampaknya berkisar dari kekeringan parah hingga pencairan gletser.

Bahkan pada 2022, pemerintah Bhutan menaikkan biaya harian menjadi USD200 dolar per orang ketika pariwisata dibuka kembali setelah pandemic. Uang tunai tersebut akan digunakan untuk mengimbangi emisi pariwisata.

Namun kenaikan tarif tersebut memukul jumlah wisatawan dan mengakibatkan kerugian di seluruh sektor. Pada Agustus 2023, Bhutan mengurangi separuh jumlah tersebut menjadi USD100 untuk menstimulasi pariwisata seiring dengan upaya menjaga keseimbangan antara perlindungan iklim dan perekonomian lokal.

Memang bukan hal mudah menyeimbangan kepentingan ekonomi dan lingkungan di dunia pariwisata.

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun