Pada usia  ke 213 Bandung menghadapi problem seperti sampah, ruang terbuka hijau, kemacetan, polusi, degradasi sumber air bersih. Namun kota ini masih layak huni dan punya peluang jadi kota berkelanjutan.  Â
Bandung bagi saya adalah kota tercinta, sekalipun saya tidak pernah bermukim. Setiap kali saya berkunjung dalam benak emosional, romantis historis dan sentimentil selalu berkecamuk di kepala.
Sejak kecil  awal 1970-an saya kerap diajak orangtua saya berlibur dan menginap di rumah kakak Ibu di kawasan Cicendo dan seorang kakaknya lagi di Terasana.Â
Sering petualangan saya membuat mereka ibu dan bibi saya terperanjat karena suka jalan kaki dari Cicendo ke Terasana sekitar satu kilometer menyeberang Jalan Padjajaran tidak peduli lalu lintas sambil melamun menikmati kota yang masih sejuk untuk berjalan kaki bahkan hingga siang.Â
Bukan saja ke Terasana tetapi juga ke alun-alun melintasi jembatan kereta api ke Oto Iskandar Di Nata lalu kembali lagi. Â Kalau bosan, saya memilih rute Cicendo, Wastu Kencana lalu ke Merdeka bahkan sampai Ganesha ITB. Â Â
Pohon-pohon masih banyak bisa ditemui  dan bunga dan kembang masih ada.  Kabut pun masih ada banyak ditemui.  Suhu di Bandung pagi hari sekitar 15-17 derajat celcius membuat malas mandi pagi hingga perlu air hangat.
Petualangan itu terus berlanjut hingga 1990-an akhir, ketika pelan-pelan kota ini menjadi lebih panas, menjadi lebih sumpek, yang menjadi tanda tanya besar, sebuah kota yang penuh dengan SDM mumpuni masa tidak bisa membereskan kemacetan, penataan Ruang Terbuka Hijau, air hingga sampah. Â
Bukankah kota ini  penuh universitas terkemuka mulai dari ITB, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), STT Telkom, NHI (Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung), UIN Sunan Gunung Djati, Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung, Itenas dan masih banyak lagi?
Apakah para staf pengajar, peneliti dan alumni dari perguruan tinggi tersebut pernah diajak rembug oleh Pemerintah Kota? Untungnya Bandung pernah dipimpin alumni Arsitektur ITB Ridwan Kamil yang setidaknya mampu melakukan revitalisasi taman hingga sedikit mengembalikan romantis historis. Â Â
Sayangnya pengganti Kang Emil tidak banyak melakukan perubahan, sekalipun program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan) untuk mengatasi sampah dan Buruan Sae (kebun kota) Â memberikan sedikit harapan.Â