"Surprise! Terima kasih Allah!" demikian ucap saya begitu menginjakan kaki di kota Batu, 9 September 2023 menuju penginapan backpacker Algeria Inn pagi, sebelum perjalanan ke Jatim Park 3. Â Pasalnya saya tidak melihat sampah yang berserakan di pinggir jalan, setelah Pemerintah Kota Batu menutup TPA Tlekung akhir Agustus 2023.
Berbeda dengan saya lihat di Kota Bandung pasca penutupan TPA Sarimukti karena kebakaran. Di Kota kembang ini  sampah berserakan  tidak saja di TPS, tetapi juga di pinggir jalan, bahkan di jembatan Teras Cihampelas.
Demikian juga seusai saya singgah di Coban Kaca, saya mencari makan siang di kawasan Jalan Suropati, hingga sekitar Kelurahan Ngaglik pada 10 September 2023, saya menikmati panorama bersih di trotoar.
Menurut Hadi alias Pak Gondrong pedagang tahu campur tempat saya menemukan makan siang, memang jalan tetap bersih. Dia sendiri sebelum berjualan menyapu jalanan hingga pembeli seperti saya menikmati tahu campur lezat tanpa terganggu sampah.
"Yang memang harus begini, kita juga harus bertanggungjawab terhadap kota kita," ujar dia.
Hasilnya saya merasakan Kota Batu, seperti merasakan berada di Kota Bandung era 1970-an hingga 1990-an hawanya masih dingin di pagi hari. Masih tampak pemandangan gunung dari kota hingga pemandangan ditambah kota yang bersih.
Praktis saya menikmati jalan kaki melalui jalan kecil dan gang di kota ini seperti halnya di Bandung. Â Pada 9 September sore, saya, Ciciek dan Dzaqi juga sempat makan di sebuah rumah khas Jawa Timur melewati kawasan kampung yang relatif masih bersih dibanding yang saya lihat di Bandung berapa waktu lalu.
Senin pagi 11 September 2023 sebelum kembali ke Malang untuk naik KA Jakarta, saya kopi darat dengan Doddy Eko Wahyudi, Â Aktivis Sabers Pungli (Sapu bersih sampah nyemplung kali), komunitas lingkungan di kota ini yang kerap jadi narasumber saya lewat WA. Baru saya dapat jawabannya.
"Itu pintar-pintarnya warga Batu menyembunyikan sampah dan sayangnya sebagian warga membakar sampah hingga berkurang," katanya dalam obrolan di sebuah warung soto, masih sekitar Ngaglik.
Namun sudah mulai kesadaran masyarakat untuk memilah sampah. Pria yang berprofesi UKM Kuliner Mi ini tak sungkan ikut memberikan sosialisasi keliling kota Batu bersama kawan-kawannya.
Namun selain sampah yang terpenting adalah menjaga mata air di kota ini, karena bukan saja untuk kebutuhan air Kota Batu, tetapi juga Malang Raya. Â Dia sudah melacak sejumlah mata air dari 150-an menjadi 200-an titik mata air. Â Dia khawatir-seperti halnya juga di Bandung-mata air ini bisa lenyap tertelan deru pembangunan pariwisata.
Praktis memang para aktivis lingkungan bergerak cepat agar masalah sampah tidak berlarut-larut. Dia menyesalkan kalangan anggota DPRD tidak terlalu banyak menganggap isu lingkungan hal yang penting.
Kota Batu masih punya potensi besar untuk jadi kota wisata. Sayang, waktu saya terlalu pendek. Â Masih ada agrowisata apel yang disebut terancam perubahan iklim. Â Masih ada Museum Transportasi.Â
Saya pulang menjelang siang karena jadwal Jayabaya pada pukul 12.30. Â Masih ada mengambil berapa foto di Malang sebelum memasuki kereta. Â Rasanya saya ingin kembali ke Malang dan Batu untuk wisata yang lebih luas (Bagian Lima dari Lima Tulisan).
Irvan Sjafari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI