Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Live and Let Die" di Mata Seorang Anak-anak Era 1970-an

8 Juli 2023   10:22 Diperbarui: 8 Juli 2023   10:24 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumberhttps://bleedingcool.com/movies/007-bond-binge-live-and-let-die-begins-moore-era-with-blaxploitation/ gambar

Pertama, sebagai jurnalis di sebuah media online yang  stuktur penulisnya mirip dengan menulis di Kompasiana,  membuat jarang menulis di blog.  Seminggu saya harus menulis 16 artikel  minimal membuat energi saya praktis habis.

Namun karena sebagai anggota komunitas City Komiks tergerak hatinya untuk  memenuhi tantangan (lebih tepat tugas ) dari "Ibu Ketua" Dewi Puspasari, akhirnya saya sempatkan menulis.

Kedua, saya tidak ingat film pertama yang saya tonton waktu masih bocah, tidak ada satu pun saya ingat judulnya,  satu film boneka, satu lagi film tentang seorang anak dan kudanya bersama teman-teman TK saya di Kebayoran kalau tidak di bioskop Majestic.

Satu-satunya yang termasuk film pertama yang saya ingat adalah serial James Bond, Live and Let Die. Bintang utamanya adalah Roger Moore dan Jane Seymour sekitar pertengahan 1970-an. 

Kisahnya tentang penyelidikan  agen Inggris itu menyelidiki kematian tiga agen Inggris yang membawanya kepada sindikat narkoba yang mempunyai jaringan di New Orleans hingga Karibia.

Kalau ulasan saya saat ini, mau bilang ini Live and Let Die adalah pertama kalinya Roger Moore memerankan James Bond. Kalau analisa sekarang,  menurut saya Live and Let Die adalah  film James Bond yang terbaik sekaligus paling kontroversial.   

Terbaik, karena lawan James Bond adalah raja narkoba tidak terkait permusuhan dalam Perang Dingin. Lawannya  narkoba  yang seharusnya memang menjadi musuh bersama. Lie and Let Die mengungkap tentang budaya voodoo di kalangan  masyarakat keturunan kulit hitam Amerika dan Kepulauan Karibia.

Karakter antagonisnya bukan lagi megalomaniak, yang membahayakan perdamaian dunia. Lawan James Bond hanya bersenjata parang, tidak terlu senjata canggih.  Adegan perkelahiannya pun realistis.

Sekaligus juga film James Bond paling kontroversial karena memberi kesan  orang kulit hitam sebagai aneh, suka mistik, tidak beradap dan tetap menunjukkan superioritas orang kulit putih sebagai "maha benar".

Ketiga, saya mau memakai cara berpikir saya waktu anak-anak yang tidak mengerti bahwa itu film 17 tahun. Almarhum Papa dan almarhum Paman mengajak saya menonton bersama seorang adik saya di Elita Theater Bandung, yang menjadikan sekaligus sebagai yang paling berkesan. 

Sebagai anak-anak umur 7 atau 8 tahun tentu  saya tidak paham adegan ranjang antara Roger Moore dan Jane Seymour.  Tetapi yang saya suka ialah adegan kejar-kejaran pakai motor boat melintasi sungai dan membuat mobil Sherif di sebuah kawasan perdesaan  di Amerika Serikat jungkir balik. 

Begitu juga ketika Bond membawa pesawat capung untuk lolos dari kejaran musuhnya, sayapnya patah menabrak gerbang hanggar. Sementara para bandit lintang-pukang.  Keren bagi anak-anak. 

Lainnya ialah, adegan ketika  para gangster menjebak James Bond di penangkaran buaya. Mereka meninggalkan berapa potongan daging. Agar bisa lolos agen rahasia Inggris itu menggunakan cara seperti dalam dongeng "Si Kancil" menggunakan punggung beberapa ekor  buaya untuk menyeberangi sungai.

Adegan terakhir yang berkesan ialah perkelahian di dalam kabin kereta api.  Bond mengalahkan lawannya dengan tangan kosong. 

Pada waktu itu almarhum Papa cerita pada Mama di rumah bahwa ini film James Bond pertama yang lawannya bukan lagi orang Rusia, tetapi negro.  Saya tidak paham konteks politik masa itu. Yang jelas itu film seru menurut saya.

Sejak itu saya ketagihan kalau pergi ke Bandung besama keluarga, pasti ada acara menonton film. Pada 1970-an menonton film di Panti Karya, Elita Theater,Nusantara Theater, Dian Theater, Pop Theater lebih asyik daripada bioskop di Jakarta.  Gedung tempat penonton adalah peninggalan masa Belanda atau setidaknya era 1950-an untuk Panti Karya.

Mungkin karena bioskopnya menggunakan bangunan peninggalan Belanda dan sebagian besar menonton di kawasan alun-alun.  Sayang semua bioskop waktu saya masih kanak-kanak hingga remaja awal tinggal kenangan (Irvan sjafari).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun