Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Healing di Patahan Lembang

11 Desember 2022   22:09 Diperbarui: 11 Desember 2022   22:14 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di papan pertanda patahan Lembang 

Dua tahun sudah pandemi berlangsung .  Selama itu juga saya tidak pernah melakukan kegiatan outdoor di daerah bukit yang berhutan yang  sebelum pandemi bisa saya lakukan setiap dua bulan sekali. Hobi gila saya: Solo hiking kalau ingin healing jalan kaki tengah hutan di atas ketinggian.

Penyebabnya, selain PPKM, saya terlambat vaksin karena dulu pernah kena alergi yang membuat saya khawatir justru berakibat fatal. Namun akhirnya bisa dua kali vaksin jenis yang ternyata aman bagi saya.

Setelah menginap semalam di Bandung 6 Desember 2022, pada 7 Desember 2022 berangkat ke Puncak Bintang untuk menyelesaikan ekspedisi yang saya pernah lakukan pada Agustus 2015 bersama seorang rekan saya (1).

Selain itu saya butuh healing karena ada beberapa persoalan pribadi.  Tidak ada yang berubah dibanding perjalanan pertama, saya menyewa jasa ojek dari pangkalannya di Padasuka, Kota Bandung  dengan waktu tempuh antara 20-30 menit ke Caringin Tilu, Kabupaten Bandung.  

Hanya saja saya tiba lebih pagi, karena targetnya adalah hiking berupa jelajah ke Tebing Kraton rencana semula, yang menurut referensi sejauh 7 kilometer dengan kontur dan medan yang menantang.

Pak Dudung, demikian penjaga pos mewanti-wanti bahwa ada dua rute besar, yaitu ke Patahan Lembang lurus dan ke Tebing Kraton dan jalan cukup licin habis hujan. Setelah membayar tiket Rp15 ribu dan sarapan di kafe seberang pos, saya memulai perjalanan. 

Sehabis berfoto di ikon Puncak Bintang berkat bantuan Pak Dudung dan tentunya juga selesai sarapan, saya mulai melangkah. Sengaja memulai perjalanan tepat 7 pagi dengan target sampai di  Tebing Kraton pukul 10 pagi.

Tidak ada yang berubah, saya disuguhi panorama hutan pinus yang ciamik dengan jalan setapak yang tertata. Kawasan ini benar-benar bersih dari sampah karena tempatnya tersedia di beberapa spot dan terdapat beberapa toilet yang bersih dan sebuah musala dari kayu.

Ikon Puncak Bintang (dokpri)
Ikon Puncak Bintang (dokpri)

Sayangnya, baru berapa ratus meter melangkah jalan tanah yang dilalui sudah berlumpur dan banyak kubangan sehabis dilindas pengendara motor cross. Saya terpeleset, kaki amblas masuk ke dalam lumpur dan jatuh untung masih pegangan.

Kembali ke pos untuk membersihkan tangan agar tidak licin, lalu memulai perjalanan lagi. Kali ini sempat menempuh satu kilometer belok kiri melalui kontur tanah yang menanjak dan cukup curam. 

Sebetulnya untuk rute yang lebih berisiko di tengah musim hujan, seharusnya dibutuhkan konsentrasi tinggi dan sebaiknya tidak banyak masalah di kepala. Tetapi justru itu tujuannya dalam jelajah kali ini.

Rute ke Tebing Kraton hanya kira-kira saja, tanpa saya sadari saya tiba di tepi jurang. Ada jalan tetapi harus turun dengan kontur tanah 60 derajat dengan banyak pegangan tanaman.  Pikiran cukup kacau saya tetap ingin melangkah. Mati, ya, mati. Setidaknya mati di tengah alam yang tenang. 

Namun aneh, itu ponsel cerdas mendadak tidak bisa memotret keadaan sekitar. Seolah saya tidak boleh menandakan spot yang menantang itu.   

Sebetulnya saya punya bakat panik dan takut. Waktu hiking  di  kawasan Cikole, Lembang menembus dari Jayagiri menuju Gunung Putri   pada 2015, saya panik ketika tersesat karena punya darah rendah. Tetapi saya hari itu keras kepala saya, saya tidak takut mati.   

Namun rupanya alam sepertinya adalah hakim yang adil. Saya percaya pada kearifan lokal.  Entah atas doa siapa di bawah sana, beberapa ekor lebah mengalangi saya melangkah.  Saya mengucapkan: "Astagfirullahalazim!" 

Lebah-lebah itu menggiring saya kembali ke jalan setapak , ke jalan semula. Ajaib lebah-lebah itu menghilang, begitu pikiran saya mulai stabil.

Pada waktu perjalanan kembali ke pos untuk konsolidasi menanyakan rute kedua, saya kembali terpeleset lagi-lagi ulah pengendara motor cross.  Kaki kanan terkilir.  Bagian bawah sepatu hancur. Untung celana saya jenis kargo berbahan katun memang didesain untuk hiking dan bukan celana jins yang bisa jadi perangkap ketika basah.

Ketika hendak kembali ke pos: Saya berteriak sekencang-kencangnya menumpahkan masalah dan problem yang buat mumet dan membuat saya sempat labil, seorang diri di tengah hutan pinus. Healing?  Tetapi memang terasa lebih lega.  

Saya kembali ke pos dengan kaki kanan mulai nyeri.  Pak Dudung cukup terkejut:  Belum sampai ke portal besi tanda ke Patahan Lembang!"

Saya menggeleng.  Tetapi akhirnya ingin melanjutkan perjalanan mengisi air minum dengan tujuan rencana B Patahan Lembang untuk menyelesaikan ekspedisi, karena tujuan healing sudah selesai.

Pak Dudung akhirnya meminta saya ditemani Dani, 22 tahun warga lokal untuk jadi pemandu ke Patahan Lembang dengan perjalanan diperkirakan 45 menit.  Pukul 8.30 kabut turun.

Kami mulai memulai perjalanan. Dani mengaku sudah berkali-kali menjadi pemandu dengan upah Rp50 ribu. Berkat Dani, saya bisa menemukan pijakan agar tidak ambles. Pukul 9.15 tiba di portal  batas antara Puncak Bintang dan Patahan Lembang.

Portal. (dokpri)
Portal. (dokpri)

Kami melalui jalan setapak yang bervariasi medannya; ada tanjakan, turunan, perbedaan kontur ketinggian, lubang, tidak rata, berbatu, melalui berapa spot, di antaranya sawung kosong yang di belakangnya adalah jurang dan warung-warung makan yang kosong di week-day.

"Di belakang warung itu ada rute lain?" ujar Dani.

"Kalau ke Jatinangor bisa?"

"Bisa katanya, tetapi rutenya penuh tanjakan. Begitu juga jalan tembus ke Lembah Tengkorak. Dan lebih berat dibanding ke Patahan Lembang," ucap dia.  

Alternatif menarik untuk perjalanan berikutnya selain rute ke Tebing Kraton untuk solo hiking, pikir saya.

"Kalau musim kemarau perjalanan lebih aman untuk solo hiking sekalipun. Begitu juga keluarga yang bawa anak kecil. Tetapi kalau musim hujan lain ceritanya, sebaiknya tidak sendiri. Hiking ini tidak dianjurkan malam hari. Pada Desember ini hujan turun setelah pukul 12 siang," katanya.

Dani dan jalur tanah yang dilindas motor trail. (dokpri)
Dani dan jalur tanah yang dilindas motor trail. (dokpri)

Betul satu jam perjalanan sampai ke papan pengumuman Patahan Lembang setinggi 1.515 meter di atas permukaan laut.  Dari ketinggian bisa menikmati panorama kota Lembang, termasuk Lodge Maribaya.  

Saya bersyukur selimut hijau paru-paru Bandung masih terhampar luas, Taman Hutan Raya Djuanda. Dani menunjuk apa yang disebut Sesar atau Patahan Lembang. 

Sesar Lembang merupakan patahan yang memanjang sepanjang 29 km dari Padalarang hingga Lembang. "Bentuknya adalah perbukitan dan Tebing Kraton adalah ujungnya, kata Dani.

Sayang, saya harus berpisah dengan Dani yang kembali ke pos. Setelah membayar sesuai perjanjian, saya turun untuk etape berikutnya: Batu Lonceng. 

Perjalanan tidak berat kalau situasi normal, tetapi kaki sebelah kanan pincang dan harus melalui jalan setapak yang sempit dan di suatu titik ada bambu patah yang bisa digunakan sebagai tongkat.  Kontur juga bervariasi turun, naik dengan sebelah kiri jurang dengan panorama kota.

Saya juga bersyukur seluruh rute yang saya tempuh bersih, tidak ada sampah seperti yang saya temui waktu hiking Jayagiri-Tangkubanparahu.  Saya pun mematuhi aturan penjelajah: hanya meninggalkan jejak kaki, tidak membuang sampah, pakai tumbler untuk minum bukan botol plastik air mineral, tidak mengambil sesuatu (kecuali tadi bambu patah untuk tongkat).

Jalur menuju Batu Lonceng. (dokpri)
Jalur menuju Batu Lonceng. (dokpri)

Batu Lonceng. (dokpri)
Batu Lonceng. (dokpri)

Dalam perjalanan bertemu petani bambu, untuk menanyakan  berapa lama turun ke bawah. Cukup menguji kesabaran untuk terus berjalan. Tepat pada azan zuhur  saya memasuki Kampung Batu Lonceng.  Hanya makan indomi goreng telur isi perut dan teh manis hangat.

Di warung itu, sepatu dilepas dan diganti sandal jepit. Rasanya lebih lega. Setelah makan dan minum ke Patrol untuk cari angkot ke Pasar Lembang dan dari sana turun ke Ledeng dan melanjutkan naik angkot ke Kebun Kelapa. Turun ke Wastu Kencana naik angkot kembali ke hotel, tiba sekitar pukul 14.00.

Irvan Sjafari

Tulisan itu sudah saya tayangkan di https://koridor.co.id/rehat/jelajah-puncak-bintang-ke-patahan-lembang-menyenangkan-dan-aman-bagi-penyuka-solo-hiking-tetapi-di-musim-hujan-jalan-setapak-rusak-oleh-pengendara-motorcross/ 

Ini versi pribadi.

(1) https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/55c0acbe0f9373bd090ab3be/memetik-puncak-bintang-di-caringin-tilu

Foto-foto By Irvan Sjafari/Dokumentasi Irvan Sjafari

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun