Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Wajah Wartawan dalam "Dunia Tanpa Koma"

13 Februari 2022   20:24 Diperbarui: 13 Februari 2022   20:29 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Sumber Foto: https://tigapuluhlimaadegan.wordpress.com

Hanya ada beberapa serial film yang saya selalu saya nantikan di televisi, yaitu " X-Files" dan "Milenium" keduanya besutan Christ Carter untuk asingnya. 

Dan hanya dua sinetron Indonesia yang saya sukai sepanjang sejarah pertelevisian yang "dibela-belain" untuk diikuti tanpa satu pun episode yang dilewatkan , yaitu "Si Doel Anak Sekolahan" dan satu lagi "Dunia Tanpa Koma" yang hanya 14 episode, tayang pada 9 September hingga 9 Desember 2006.

Saya suka "Dunia Tanpa Koma" (DTK) karena menurut saya menggambarkan kehidupan wartawan dan memberikan sejumlah pelajaran sebagai wartawan di lapangan dan bukan teori.  Kekuatannya karena skenarionya ditulis oleh wartawan juga dan banyak menulis soal film, yaitu Leila S. Chudoiri (Tempo waktu itu).

Leila dan Leo Sutanto (produser Sinemart) tampaknya membuat format seperti serial televisi Amerika menggunakan sistem seasson, tebrukti jumlah epiosodenya hanya 14, saya Si Doel Anak Sekolah seasson pertama juga begitu dan lepas dari stripping yang kebanyakan menjengkelkan.

Pada episode pertama,  Raya (Dian Sastrowardoyo) sebagai reporter baru Majalah Target (saya menduganya mengacu pada Majalah Tempo),  ketika menjalankan tugas pertamanya menembus narasumber, mengingatkan saya pada tugas pertama sebagai reporter. 

Hanya saja kalau tidak salah ingat, saya meminta komentar salah seorang petinggi Bank Indonesia terkait masalah Bapindo dan Eddy Tanzil (1994), maka Raya harus mengejar seorang model Mariana Renata (diperankan dirinya sendiri).   

Raya digambarkan berhasil mendatangkan Mariana ke kantor untuk diwawancarai dan difoto.  Tentu perlu trik untuk bisa membuat Mariana-yang digambarkan jenuh dengan pertanyaan dari wartawan infotainment.

Raya berada di bawah Bayu (Tora Sudiro) keala bironya, ada sneiornya  Markus (Indra Birowo), Seruni (Wulan Guritno), serta Asri (Syarmi Amanda).  Sementara di lapangan ada Bram (Fauzi Baadllah), wartawan Harian Kini, yang jago investigasi.  Bisa ditebak Raya dan Bram jadi seteru memburu berita, tetapi juga punya hubungan dekat.

Cara bertuturnya memikat mirip Serial X-Files  (yang juga saya gemari) dengan waktu dijabarkan detail, Senin pukul 13:05 di tempat pemotretan Mariana, Selasa pukul 12:22 di Warung Murah Meriah,  Selasa: 23:50 di rumah Raya.  Saya menangkap: begitulah dunia wartawan, seperti tanpa koma atau tidak ada waktu kerja.

DTK sejak episode pertama menghapus gambaran stereotype di kebanyakan sinetron (bahkan film layar lebar), wartawan menenteng kamera ketika ke lapangan. Setahu saya reporter itu dilengkapi kamera saku (pocket) tetapi disimpan di tasnya. Kalau perlu orang lain jangan sampai tahu ada wartawan, kecuali untuk konferensi pers.

Pada episode selanjutnya cerita difokuskan tentang sindikat narkoba yang diduga didalangi Jendra (Sura Saputra) yang pernah menjadi sama-sama mahasiswa dengan Raya di New York. Hanya saj geng Jendra anak-anak orang kaya di Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika) dan Raya hanya peraih beasiswa.   

Bagaimana persaingan Bram dan Raya  mengungkap kasus ini , dari seorang bartender dan latar belakang Bram yang punya dorongan kuat untuk mengungkap sindikat narkoba, karena adiknya (Intan Ayu) menjadi korban.  Leila dan Maruli dengan cerdik menjadikan Joan Tanamal (mantan penyanyi cilik yang menjadi menyitas narkoba) sebagai salah satu tokoh di Panti Rehabilitasi hingga karakter-karakter menjadi kuat,

Cerita pengungkapan kasus Narkoba diselingi kasus perkosaan yang dilakukan aktor senior Dion (christian Sugiono) terhadap pendatang baru Monita (Intan Nuraini).  Menurut saya Intan bermain baik sebagai korban perkosaan lewat gestur tubuhnya dan ekspresi wajahnya. 

Lagi Leila detail soal tokoh, dia memasukan aktivis perempuan (dimainkan dengan aktris tepat juga Paquita Wijaya) yang begitu empati terhadap persoalan perempuan. 

Yang terpenting dalam cerita selingan ini ialah tidak mudahnya mengungkap kasus perkosaan di dunia patriaki, terutama kalau laki-lakinya punya uang (juga kekuasaan).  DTK juga mengkritik wartawan (pria)  yang mencari sensasi hingga memojokan perempuan dalam masalah perkosaan.

Misalnya dalam rapat redaksi celetukan Markus, walaupun guyon menganggap perempuan "menikmati" perkosaan. Itu realitas, ada di obrolan warung kopi. Lalu wartawan berkemah di depan rumah Monita, juga tidak etis. Untuk apa? Karena Monita itu perempuan dan bisa "dijual".    

DTK juga memasukan bumbu asmara, antara Raya, dengan Bayu, Bram bahkan Jendra. Bagaimana akhirnya Raya mau bekerja sama dengan polisi untuk menjebak Jendra dan memisahkan dari hubungan pribadinya, karena Jendra sudah zholim, bukan saja narkoba, tetapi juga terlibat pembunuhan.   Yang menarik Raya, mempertanyakan dirinya sendiri mengapa dulu suka pada Jendra.

Bukan saja di lapangan, tetapi juga di dalam kantor, ada wartawan yang tukang mengadu (paling tidak disukai di kalangan jurnalis) kepada atasan, konflik antar petinggi dalam Majalah Target, hal yang juga pernah saya alami.

Sekalipun tidak pernah dilanjutkan, mungkin karena rating. Setidaknya DTK sudah menawarkan alternatif sebuah sinetron dan sudah tercatat sebagai upaya memperbaiki kualitas acara televisi.

Catatan terakhir, saya baru memasukan Dian Sastrowardoyo sebagai salah satu aktris favorit saya bukan karena "Ada Apa Dengan Cinta?", tetapi justru DTK. 

Tentu saja ada risiko menjadi wartawan, terutama kriminal. Bagaimana Bram harus menonjok orang yang menjerumuskan adiknya ke dunia narkoba, Raya yang direncanakan hendak dibunuh, tetapi Jendra melarangnya.

Di layar lebar ada beberapa film  tentang wartawan menjalankan tugasnya, menjadi favorit saya yaitu "The Girl With Dragon Tatoo", "The Girl Who Played With Fire", "The Girl Who Kicked The Hornets Nest" (ketiganya dirilis di 2009), dengan tokoh utamanya  Mikael Blomkvist,  seorang jurnalis Swedia  yang bekerja sama dengan hacker Lisbeth Salander memecahkan kasus hilangnya Harriet Vanger, keponakan seorang industriawan.

Investigasinya mengarah ke kasus lebih besar, yaitu pembunuhan lima perempuan imigran Yahudi di tahun 1949-1966 hingga gerakan Neo Nazi. Film ini berdasarkan novel karya jurnalis juga bernama Stieg Larson. Tentu saja  penyelidikan membahayakan jiwanya.   Film ini seperti halnya novelnya ada dua sekuel yang berkaitan. Disebut trilogi milenium, karena majalah tempat bekerja Mikael "Milenium".

Hanya saja DTK, maupun trilogi Millenium berkisah soal bagaimana wartawan ketika media cetak masih digaya,  sementara era media daring baru dimulai dan media sosial belum marak.  Penggunaan ponsel baru sebatas SMS, sekalipun internet sudah bisa diakses melalui PC.  Tentu saja tantangan dan persoalannya berbeda. 

Wartawan di era digital menghadapi tekanan yang lebih berat karena harus lebih cepat, hingga info dari media sosial pun dilahap. Padahal antara fakta dan hoaks sulit dibedakan.

Kalau hingga era 2000-an media umumnya masih bisa bernafas karena masih ada pemasang iklan, masih ada pemasukan dari tiras atau penjualan, maka media era digital bergantung pada viewer untuk bisa mendapatkan iklan.

Saya juga masih belum paham sepertinya justru di era digital  ini media menghadapi kuatnya kepentingan politik dan ekonomi  lebih kuat. Memang  ada keuntungan lagi bagi wartawan, yaitu bisa meliput melalui zoom, nggak perlu datang ke konferensi pers, bisa wawancara melalui Whatsapp, kalau tidak yakin narasumber orangnya bisa videocall.

 Sekalipun sensasi meliput melalui zoom dan wawancara by Whatapp berbeda dibanding liputan fisik. Namun di era pandemi ini, kalau tidak penting-penting sekali, iya, tidak apalah untuk tidak liputan fisik.  Hingga saat ini belum saya temui film tentang dunia wartawan di era digital yang real, lebih-lebih era pandemi.

Irvan Sjafari  

Sumber Foto dan referensi sumber tambahan

https://tigapuluhlimaadegan.wordpress.com/2017/09/25/review-indo-seri-dunia-tanpa-koma-2006-sebuah-niat-baik-membenahi-petelevisian-nasional/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun