Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fiksi Bersetting Sejarah, Riset Kuat, Mengapa Tidak?

10 Oktober 2021   21:29 Diperbarui: 10 Oktober 2021   21:39 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur saya baru tahu, Sentot digunakan untuk menumpas pemberontakan Tionghoa yang sebetulnya juga nyaris terlupakan dalam penulisan sejarah Indonesia, karena mungkin dianggap kecil. Penelusuran saya menemukan pemberontakan itu terjadi wilayah Purwakarta pada Mei 1832, jadi sebelum Sentot dikirim ke Ranah Minang.

Banu memang berhasil mengungkapkan hal-hal yang luput dari penulisan sejarah mainstream melalui karya sastranya dan itu saya kira kelebihan mereka yang menulis sejarah dalam bentuk cerpen atau novel, sekalipun unsur imajinernya lebih besar agar bisa menghidupkan cerita.

Ada lagi karya lain seperti "Semua untuk Hindia" tentang peristiwa Puputan di Bali 1906-1908 dari seorang Letnan Belanda yang sebetulnya untuk melakukan tugas jurnalistik, hingga memberi pandangan obyektif.

webinar sejarah dan Sastra-Foto: Irvan Sjafari.
webinar sejarah dan Sastra-Foto: Irvan Sjafari.

Pembicara kedua, Nusya Kuswatin menceritakan pengalamannya dalam menulis novel berjudul "Lasmi" (2009) berdasarkan kisah nyata seorang gerwani yang hidup di kampungnya dimkawasan Banyuwangi, sewaktu masih kanak-kanak.  

Sepak terjang tokoh ini dengan setting masa antara 1957-1966 ini menjadikan rumahnya yang peninggalan Belanda untuk menjadi gedung sekolah.  Itu dilakukan untuk memajukan pendidikan di daerahnya dan menjaidkan Gerwani sebagai aktivisnya.

"Karena berdasarkan cerita nyata, orang di kampung saya bisa tahu siapa tokoh yang dimaksud dalam novel ini. Saya sendiri hanya berharap novel saya jadi pelajaran agar peristiwa kelam ini tidak terulang lagi," ujar penulis yang punya latar belakang pendidikan antropologi ini.

Itu sebabnya, kata mantan wartawan ini, Ibunya pernah menyarankan agar jangan menerbitkan soal ini dulu, tunggu situasi benar-benar aman.

"Akhirnya setelah saya kuliah lagi di Yogyakarta dan kondisi di sana sangat memungkinkan, keberanian untuk menerbitkan novel berjudul Lasmi semakin tinggi," ungkap dia.

Sementara itu sejarawan Amuwarni Dwi Lestraningsih dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuturkan pengalamannya menulis thesis terkait Gerwani membutuhkan riset dua tahun, di antaranya mencari pelaku sejarah, eks Gerwani yang tidak mau lagi menggunakan nama aslinya dan berganti nama. Misalnya ketika mencari tokoh  Gerwani bernama Darminah di kawasan Manggarai, warga ternyata mengenal namanya sebagai Mbah Jamu.

Untuk itu dia mengapresiasi novel karya Nusya yang mampu menyuguhkan sejarah kelam Indonesia era 1965-an. Dia mengakui sulit mencari data primer karena sulit mencari dokumentasi terkait hal itu.  Hal itu sudah dialaminya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun