Saya  setuju dengan pandangan Lombard, kalau dilihat dari lima soto favorit saya kesamaannya cukup banyak. Kalau sejarah soto ibarat sungai mengalir, mata air dan hulunya adalah Soto Semarang dan kuahnya bening lalu mengalir hingga muara melalui cabang-cabang sungai.
Soto Kudus, kalau dilihat dari komposisinya tidak terlalu beda, karena menurut sjeumlah referensi Soto Semarang juga enak dimakan dengan sate telur puyuh, perkedel  dan aneka sate lainnya. Begitu juga dengan soto lain, seperti Soto Lamongan, Soto Banjar dari bentuk penyajiannya sebetulnya tidak terlalu beda dan adaptasi dengan selera lokal masing-masing.Â
Sekalipun dua soto itu jarang sekali saya santap. Tetapi penyebarannya bisa saya prediksi, perantau Minang ke Jawa membawa resepnya, juga perantau Makassar atau orang Jawa ke Banjar? Memang harus dibuktikan dengan penelitian, tetapi logikanya masuk. Â Daerah-daerah yang menyajikan soto bening kalau tidak sukunya yang gemar merantau, daerah itu tempat singgah orang Jawa. Â untuk soto bening akarnya sama, setidaknya seperti mengikuti alur sungai masih dalam cabang yang sama.
Nah yang saya tidak tahu bagaimana dengan alurnya bisa jadi  soto santan, tetapi kalau dilihat dari asal usulnya jeroan seperti yang diungkapkan sejarawan Denys Lombard, justru soto santan, seperti Soto Betawi, Soto Tangkar yang isinya banyak menawarkan jeroan (walau sapi)  malah lebih mendekati. Apa mungkin ada pengaruh budaya Arab dan India?  Terutama untuk orang Betawi pengaruh Tionghoa dan Arab sama kuatnya, seperti dialek ada yang menyebut ane dan gue.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H