Era 1970-an hingga 1980-an
Sineas pembuat film bertema sejarah kolosal baru mendapatkan tantangannya ketika zaman yang jadi setting sudah cukup jauh, kira-kira 25- 30 tahun, yaitu pada 1970-an ketika anak muda yang notabene adalah mayoritas penonton tidak mengalami masa revolusi. Persoalannya beberapa pelaku sejarahnya masih hidup dan punya kekuasaan.
Film "Janur Kuning" (1979) Â adalah contoh film tersebut di mana tiga tokoh utamanya, Jenderal Sudirman, Soeharto, dan Amir Murtono adalah tokoh nyata dan dua yang terakhir adalah Presiden Indonesia dan elite Golongan Karya, partai yang berkuasa. Jelas dicurigai mereka yang kritis pada film sebagai propaganda, peranan tokoh Letkol Soeharto begitu menonjol. Saya tidak mendebat hal itu dalam tulisan ini. Tapi Indonesia digambarkan menang terhadap Belanda, sekalipun heronya adalah Soeharto. Kebanyakan penonton muda percaya itu. Â Kenyataannya di buku sejarah yang mereka baca, ya Soeharto, inisiator serangan tersebut.Â
Pada tahun yang sama film yang disutradarai oleh Teguh Karya berjudul "November 1828" juga dirilis. Kisahnya tentang pasukan Belanda dipimpin Kapten Van DeBrost menduduki sebuah desa pada msa Perang Diponegoro, mencari informasi tentang keberadaan Sentot Prawirodirjo, panglima perang Diponegoro.
Yang menarik di film ini adalah konflik antar dua perwira Belanda, yaitu Van De Brost dan Letnan Van Aken, yang tidak suka menghalalkan segala cara dan bersimpati pada rakyat Jawa. Â Belanda digambarkan tidak hitam putih. Sekalipun meraih 7 piala citra, termasuk film terbaik, November 1828 kalah populer dengan Janur Kuning. Â
Jumlah penonton? Â Situs filmindonesia.or.id tidak menempatkan kedua film sejarah kolosal ini sebagai film populer, kalah dengan "Binalnya Anak Muda" (1971) sekitar 171 ribu penonton "Gita Cinta dari SMA" sekitar 162 ribu penonton. Â Rasanya penonton mayoritas menyukai film yang tidak mikir, dekat dengan keseharian mereka dan romantis.
Sekalipun saya sebagai anak-anak masa itu, ya suka "Janur Kuning", seru kok, Â Belandanya antagonis dan pejuang Indonesia protagonis dan akhirnya happy ending: Indonesia menang. Hiburan masuk. Â Soal subyektif, memangnya terpikir oleh anak-anak masa itu. Kalau "November 1828", saya masih duduk di bangku SD tidak bisa menikmati film itu dan baru bisa menimati ketika kuliah.
Secara sinematografi, ya keduanya bagus, pakaian para pelakunya natural tidak seperti disetrika seperti film perjuangan kemerdekaan kontemporer, dari segi setting juga tidak terlalu sulit, pelaku sejarah masih hidup, properti masa itu masih ada, tata kota tidak terlalu berubah.Â
Sebagai catatan sejak 1970-an hingga 1980-an ada empat film sejarah Indonesia kolosal masuk box office. Yang paling top lagi, yaitu "Pengkihanatan G 30 S PKI" (1984) dengan angka hampir 700 ribu, jumlah fantastis masa itu. Mengapa? Iya, karena itu jadi film wajib anak sekolah. Â Nah, yang menarik justru diikuti "Sunan Kalijaga" (1984) sekitar 575 ribu, kemungkinan karena punya segmen penonton sendiri kalangan muslim.
Kemudian di bawahnya  "Tjoet Nya Dien" (1988) sekitar 24 ribu penoton dan "Pasukan Berani Mati" (1982) sekitar 209 ribu penonton. Sedikit kalau diukur masa sekarang, tetapi masa itu cukup bagus.
Kalau saya waktu itu sudah menjadi mahasiswa sejarah agak memaksa ayah, ibu dan adik-adik menonton film  "Tjoet Nya Dien" di Kartika Chandra daripada film "Die Hard", setelah bertengkar cukup sengit dengan  adik-adik.