Mengapa industri perfilman Indonesia jarang membuat film kolosal berbasis sejarah? Mengapa film "Sultan Agung" kurang laku? Â Kira-kira begitu salah satu tema yang diberikan KOMiK. Â Saya mencoba menjawab sekaligus dua pertanyaan itu. Ditambah mengapa dulu banyak film perjuangan kemerdekaan dan sekarang tidak.
Sebenarnya kapan kita buat film sejarah (perjuangan)? Film "Darah dan Doa" karya Usmar Ismail produksi 1950, itu bagi saya bukan film sejarah, karena dibuat dengan peristiwa dekat dengan masa pembuatan film. Â Begitu juga dengan "Enam Djam di Djogja" buatan 1951, besutan sutradara yang sama.Â
Iya, tidak sulit membuat film itu medekati aslinya, Â karena propertinya masih ada, tidak perlu riset yang ribet (repot menurut bahasa anak gaul sekarang), saksi mata banyak sekali, mudah mencari siapa pelaku yang ikut long march Siliwangi? Ingatan penonton waktu itu dekat dengan peristiwa itu dan pada zaman itu rasa nasionalisme dan semangat merdeka sangat tinggi.
Kalau sempat main ke Perpustakaan Nasional lihat koran dan majalah jadul, lihat puisi-pusi, cerpen, masa sangat terkait dengan perjuangan hingga 1950-an akhir. Rasa Anti penjajahan Belanda begitu meluap. Belanda digambarkan antagonis dan Indonesia adalah protagonis. Menonton film ini pada masa itu bukan saja edukasi, tetapi juga hiburan, lega sebagai bangsa merdeka.
Lain ceritanya dengan "Pagar Kawat Berduri" pada 1961, karya Asrul Sani di mana salah seorang perwira  Belanda  bernama Koenen ( (Bernard  Ijzerdraat)) yang menahan para pejuang digambarkan tidak hitam putih, tetapi punya sisi baiknya.Â
Misalnya, Koenen mendamprat seorang anak buahnya yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang istri pejuang yang sakit. "Kau lakukan sekali lagi, kau akan berhadapan dengan pengadilan militer!". Anak buahnya ciut. Â Â
Tokoh ini juga digambarkan bersimpati pada pejuang dan punya sikap humanis. "Merdeka, tapi nanti!" ucapnya pada Parman (Sukarno. M. Noor), salah seorang pejuang yang ditahan. Atau kepada pejuang yang sakit dipisahkan ruangannya.
Tapi zaman itu, film itu mendapatkan penolakan yang luar biasa, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganggap film ini membuat bisa  masyarakat bersimpati pada Belanda.  Pada 1960-an rasa anti Belanda kembali meningkat, karena masalah Irian Barat.Â
Film itu tidak pernah diputar di bioskop. Â Secara sinematografi, cerita, ya, bagus. "Pagar Kawat Berduri" diangkat dari hasil karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan masa itu dan saya kenal tulisan di "Pikiran Rakjat" tahun 1960-an lewat kolom "Todongan Malam Minggu". Saya ragu, kalau pun diputar akan banyak ditonton, karena tidak sesuai dengan semangat anti Belanda waktu itu.
 Sebagai catatan film populer dekade terakhir 1950-an awal justru film anak muda seperti "Tiga Dara" (1957), "Asrama Dara" (1958), keduanya karya Usmar Ismail, menggambarkan  semangat remaja urban waktu itu, di mana pengaruh film Barat dan Bollywood mulai masuk, tetapi di sisi lain nilai ketimuran masih dipegang teguh.  Ini membuktikan bahwa unsur edukasi tidak cukup untuk menarik penonton untuk datang ke bioskop, tetapi juga hiburan.