Saya tidak ingat persis sejak kapan bergabung dengan komunitas film di Kompasianer KOMiK yang kini telah berusia 7 tahun dan tidak menghitung berapa tulisan yang telah saya kirim di Kompasiana terkait KOMiK dan kegiatannya, termasuk juga menghadiri beberapa event.
Bagi saya bergabung dengan KOMiK, ya senang-senang saja, karena banyak manfaatnya  bisa bertukar pikiran lintas generasi, menambah wawasan, menjalin persahabatan.  Saya juga berharap komunitas ini bisa jadi pengamat film yang baik.
Saya pernah usulkan untuk membuat poin-poin film yang ditonton dan seperti saya proyeksikan penilaiannya tak kalah dengan pengamat film yang bertebaran di berbagai media. Resensi filmnya garis besarnya juga tidak terlalu beda untuk menilai sbeuah film bagus atau tidak. Â
Kalau digabungkan- sayangnya terhalang pandemi-puluhan komiker yang memberikan penilaian film Indonesia yang beredar dalam satu tahun, maka nominator yang  keluar tidak akan jauh dari nominator pilihan juri dan FFI dan Festival Film Bandung.
Kalau pun berbeda susunan nominasinya, paling hanya di satu atau dua film. Setidaknya untuk kategori film terbaik, sutradara terbaik, Aktor utama pria dan wanita terbaik, hingga peran pembantu pria dan wanita terbaik.
Hanya saja untuk nomor-nomor minor, seperti tata suara, sinematografi, skenario, tata rias dan sebagainya, ya memang sulit karena butuh berbekal pengetahuan teknis dan bukan hanya pengamatan.
Saya kira anggota  KOMiK bersama-sama  bisa mewujudkan semacam "festival film sendiri", kalau kondisinya memungkinkan. Itu harapan saya pertama.
Harapan kedua, sudah saatnya anggota KOMiK menggandeng sineas seperti Mira Lesmana, Hanung Bramantyo, Alwi Suryadi, penulis skenario Salman Aristo untuk menggelar kursus, bisa via daring (online) atau luring (fisik) jika memungkinkan, seperti teknik membuat skenario film yang diikuti KOMiKer. Â Ini yang paling memungkinkan dan tidak butuh banyak biaya.Â
KOMiKer tinggal melontarkan ide dan kemudian menuangkannya dalam naskah yang teknisnya sudah dipandu oleh mentor. Â Bagi sineas, mereka bisa menjaring ide-ide yang segar dan bagi KOMiKer dapat masukan, kalau pun naskahnya dibilang tidak layak, jadi pembelajaran.Â
Saya sendiri siap  untuk belajar lagi, karena belajar tidak kenal usia.  Jadi sebagai seorang KOMiKer tidak hanya bisa mengkritik film saja, tetapi juga tahu bahwa tidak mudah menuangkan sebuah skenario ke layar lebar.  Â
Suatu catatan lain juga membuat buku bersama seperti film horor adalah harapan yang sudah terwujud, walaupun realisasinya memang belum memungkinkan. Lebih baik memang matang dan tidak terburu-buru.Â
Saya juga mengapresiasi penerbitan KO-Magz yang sudah belasan volume sebagai karya nyata KOMiKer yang mudah-mudahan bisa tersimpan abadi secara digital karena itu punyai nilai dokumentasi dan sejarah yang penting, yang sebetulnya bernilai tinggi.Â
Peneliti budaya populer, hingga sejarawan pada puluhan tahun mendatang akan menganggap dokumen ini penting. Kalau perlu ada print out yang disimpan oleh beberapa pengurus dan kalau memungkin disumbangkan ke perpustakana tertentu.
Saya kira komunitas ini diorganisir dengan baik dengan pengurus yang bisa membagi waktu juga dengan baik dan bisa menginjak usianya yang ketujuh adalah hal yang luar biasa. Tinggal soal waktu saja untuk menjadi komunitas film yang bakal diperhitungkan di blantika sineas film Indonesia bahkan kalau perlu dunia. Saya yakin bisa tercapai, karena hanya butuh konsistensi  dan kesabaran.
Sebagai penutup saya ingin menyatakan saya bangga bisa berada sebagai salah seorang KOMiKer dan bisa ikut merayakan ulang tahun ke tujuh, walau karena berbagai hal tidak mampu berpartisipasi banyak.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H