Selasa Sore, 6 Juli 2021 saya singgah di rumah makan Assli Sunda di kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat  yang merupakan langganan saya sejak dua minggu terakhir ini. Tentunya untuk dibawa pulang, karena adanya masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)  Darurat. Hal ini saya paham tidak boleh makan di tempat.Â
Bagi saya singgah di rumah makan ini pengobat rindu karena pandemi Covid-19 membuat saya tidak bisa mengunjungi Bandung selama satu setengah tahun ini. Kebetulan cita rasa masakannya mulai ayam goreng hingga pepes terinya, berikut sambalnya pas dengan masakan Sunda yang ada di Kota Bandung.Â
Harga makanannya pun cukup bersahabat, ketika sebelum PPKM Darurat, masih diperbolehkan makan di tempat nasi, lalap plus lauk, sambal Rp23 ribu dengan nasi tidak terbatas dan minuman teh tawar gratis. Â Masih di bawah restoran Padang Sederhana Rp26 ribu dan kalau tambah nais ada biaya lagi dan tentunya rumah makan cepat saji. Â
Sayang saya kehilangan ketika pada Selasa itu Dudu, pengelola rumah makan ini, yang berpusat di kawasan Cipanas, Jawa Barat  menghampiri saya sambil menyerahkan bungkusan.
"Besok Rabu 7 Juli, kami tutup dulu hingga lebaran Haji.  Omzet kami merosot hingga separuh hingga tak bisa menutupi biaya produksi dan oeprasional," kata dia, seraya menyebut  omzet rumah makan ini hanya sekitar Rp500 ribu per hari sebelum PPKM.
Padahal rumah makan ini mempunyai halaman cukup luas, yang memungkinkan pengunjung yang ingin makan di dalam bisa menjaga jarak dan berada di ruang yang terbuka, di samping ada yang di dalam untuk lesehan.
"Keadaan sekarang bagi usaha kuliner lebih buruk dibanding masa pandemi, " ucap dia, ketika saya meninggalkan rumah makan itu.
Bukan saja rumah makan masakan Sunda itu yang terdampak, Restoran Cepat Saji yang ada di dalam mal juga merosot omzetnya. Â Karyawan yang melayani saya menyebut bahwa untung gerai tidak ditutup, karena dengan tidak diperbolehkannya take dine (makan di dalam walau dengan 50% kursi), omzet merosot sampai 50%.
Bagaimana dengan kaki lima? Sama saja. Â Purino, seorang pedagang bakmi di kawasan Pasar Segar mengaku hanya bisa menjual paling banyak 20 mangkok selama PPKM Darurat. Jumlah ini separuh dari penjualan sebelum PPKM Darurat. Â "Kalau sebelum pandemi lebih besar lagi," ujar dia.
Beberapa warung makan kaki lima malah memilih tutup. Saya kehilangan warung pecel ayam goreng yang juga langganan saya. Â Rumah makan yang tersisa dikerubuti oleh driver ojek online yang melayani pemesanan makanan, untungnya mereka memakai masker. Saya menghindar antri dengan mereka dan memilih tempat yang lebih sepi.
Di "kampung" saya, jam 7 malam, mal dan rumah makan harus tutup hingga antara jam 5 hingga jam 7 malam menjadi fase krusial bagi mereka yang harus menyiapkan makan malam untuk keluarga. Saya sendiri juga menghindari-kecuali terpaksa-keluar di atas jam 7 malam.