Dia mengatakan, kelangkaan ini terjadi lantaran tingginya permintaan tabung gas oksigen di masyarakat, tetapi tidak tahu cara pemakaiannya.
"Seperti di pasar Pramuka atau apotik, tabung gas oksigen itu habis. Tiba-tiba masyarakat banyak yang beli. Enggak tahu mereka tahu pakai atau tidak, pokoknya beli," ujar Fridy saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/7/21).
Pernah Terjadi di Bandung pada 1957
Saya sudah menduga memang terjadi panic buying dan bukan pertama kalinya dalam pandemi Covid-19 ini, setahun lalu alkohol, masker, vitamin C sempat hilang. Â Saya pernah menulis di Kompasiana pada Mei hingga Juni 1957 Kota Bandung dilanda kepanikan terkait kasus Influenza yang diduga berasal dari sebuah asrama Sekolah Pengamat Kesehatan di kawasan Cipaganti dan diduga ditularkan dua peserta kursus dari Medan. Pada waktu itu memang ada kasus influenza di kota Bandung,
Tiga orang dokter, yaitu dr. Admiral Surasetja, Kolonel dr.Wonojudo dan dr. Sukojo dibandung KMKB Bandung mengadakan penyelidikan. Mereka memerika sekitar 44 orang dalam asrama mirip influenza, ternyata pilek biasa dan tidak ada hubungannya dengan wabah influenza. Â Â
Akibatnya panic buying terjadi setelah pemberitaan marak. Vitamin C tiba-tiba menghilang dari kota Bandung pada akhir Mei dan awal Juni 1957. Militer Kota Bandung akhirnya mengadakan razia terhadap semua rumah obat dalam Kota Bandung guna mengetahui persedian vitamin C di kota itu.
Razia ini juga bertujuan mencegah naiknya harga, sekaligus mencari obat-obat terlarang yang harusnya dijual dengan resep, seperti sulfa dan penisilin. Dalam razia pihak berwajib berhasil menyita10 Kg Vitamin C dari sebuah toko obat dan menyegel sejumlah toko yang menjualbelikan obat-obat tanpa resep.
Agung Minto Wahyu dari Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang, Malang menulis peirlaku panic buying dalam jurnal Humanitas Vol. 5 No. 1, April 2021, hal. 76 -- 98, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara lain.
Fenomena panic buying yang terjadi menyebabkan sebagian besar negara membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menanggulanginya. Salah satu kebijakan yang diterapkan di hampir semua negara adalah dengan membatasi jumlah pembelian. Hal tersebut diharapkan dapat menekan terjadinya pembelian dalam jumlah yang besar. Mereka melarang melakukan penimbunan.
Dalam tulisan itu diungkapkan, pemerintah di setiap negara juga berusaha mengedukasi warganya agar tidak melakukan panic buying melalui berbagai media dan elemen. Pemerintah melakukan kerja sama dengan berbagai kalangan mulai dari pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, hingga influencer di media sosial dalam kampanye tersebut.
Untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya panic buying, salah satu subjek masyarakat membutuhkan kejelasan informasi dari pihak berwenang. Â Tim peneliti menyarankan informasi yang diberikan oleh pemerintah tidak boleh sampai tumpang tindih. Idealnya, informasi yang diterima oleh masyarakat seharusnya mampu mengendalikan tekanan psikologis masyarakat, terutama yang disebabkan oleh merebaknya hoax. Pemerintah juga harus memperkecil kesempatan bagi penimbun barang.