1833: Kaum Padri (dan Kaum Adat) Memukul Balik
Pendudukan Nagari Bonjol diiringi dengan perubahan sistem pemerintahan. Administrasi pemerintahan Padri dihapus. Belanda mengangkat seorang regen yang diserahi pimpinan seluruh Lembah Alahan Panjang.
Pada perjanjian dengan kaum padri pada waktu Belanda memasuki benteng Bonjol ada kata sepakat tentara Belanda hanya akan ditempatkan di daerah tertentu. Sementara Belanda berjanji akan menghormati agama dan adat.
Pada praktiknya Belanda melakukan pelanggaran, yang paling fatal, yaitu menjadikan langgar dan rumah penduduk jadi asrama tentara. Penghuninya disuruh keluar. Â Hal ini tidak saja melukai Kaum Padri, tetapi juga kalangan adat.
Apalagi Belanda juga mulai dengan dikeluarkan peraturan pajak yang berat dan mengikat. Â Keterlibatan orang Tionghoa untuk memungut cukai pasar dan mengadakan sabung ayam berbenturan dengan adat istiadat masyarakat.Â
Para penghulu yang dulu membantu Belanda juga tersinggung. Â Terjadi kesepakatan antara Kaum Adat dan Kaum Padri untuk sama-sama melawan Belanda. Â Sebagai permulaan dua serdadu Belanda yang keluar dari Benteng Bonjol terbunuh pada 29 Desember 1832.
Pada 11 Januari 1833, tengah malam dimulai serangan serentak terhadap pos-pos Belanda. Sebanyak 20 orang hulubalang dipimpin Raja Layang dan Tuanku Nan Garang memasuki Masjid Bonjol dan membantai tentara Belanda yang diasramakan di sana.
Letnan Dua Infantri G.A.G.J. de Wautier adalah  di antara satu garnisun dari 46 orang, 27 di antaranya orang Eropa. Seluruhnya tewas. Di tempat lain, di Simawang, 9 tentara Belanda termasuk komandannya tewas.
Letkol Vermeulen Kriger sedang berada di Sipisang dekat Bonjol. Â Pasukan Krieger dikepung. Dia tidak dapat mempertahankan tempat itu dari kerumunan pasukan gabungan Padri dan Adat yang secara bertahap mendekatinya. Krieger memutuskan mundur ke Bukittinggi melalui hutan lebat dan serangan penduduk nagari.
Dipimpin oleh Letnan Perk van Lith, W.G. Schouten, Bouman dan Schoch, Vermeulen Krieger memimpin detasemen 112 orang, dimana hanya 86 orang yang dilengkapi dengan senjata api.Â
Pada pagi  12 Januari 1833, kampung ditinggalkan dan mundur dari oleh VII Laras yang sepenuhnya memberontak.  Pasukan ini mengikuti jalan pegunungan kecil dan sempit dan dikejar oleh Pasukan Padri, yang jumlahnya terus bertambah.