Raaff berpendapat bahwa melakukan pengejaran adalah tindakan terbaik. Dia bergerak dari Kampung Tanjung Alam mengitari Gunung Merapi, lalu masuk ke Agam, mencapai Nagari Canduang dan Nagari Koto Tuo.  Raaf menyadari masih ada potensi bahaya  bahaya dari sisi Tanah Datar.
Pada Juli 1822 Raaff berpaling ke desa-desa di antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Ia memaksa Nagari Koto Lawas, Pandai Sikat (Pandai Sikek), dan lain-lain untuk menyerah.
Terjebak di dua sisi, kampung-kampun yang dikuasai Kaum Paderi di Gunung Merapi seperti Sungai Pua (Sungai Puar) dan Banuhampu akhirnya menyatakan menyerah. Namun, Raaff masih menghadapi para Paderi Lintau yang belum terkalahkan di pegunungan dan lembah-lembah di sebelah timur Tanah Datar.
Sementara di front Agam, milter Belanda belum mampu menghadapi  pasukan Tuanku Nan Rinceh yang berkedudukan di tempat yang hampir tidak bisa ditembus. Markas Tuanku Nan Renceh ada di sebelah utara daerah Empat Angkat, dengan jurang-jurang dan bukit-bukitnya sebagai benteng pertahanan alami.
Tentara Paderi menduduki seluruh wilayah Bukit Kamang, Tilatang, dan desa-desa di dekatnya. Benteng utama Tilatang, Kapau, dianggap tidak terpatahkan. Pada pertengahan Agustus 1822 tentara Padri memberikan perlawanan sengit  di daerah-daerah ini hingga memaksa tentara Belanda mundur kembali ke Tanah Datar.
Belanda kehilangan seorang perwira bernama letnan dua infanteri HC Van der Veen dalam pertempuran tersebut. Bahkan Kapten Diennema Goffinet yang merupakan komandan yang pertama menyerang tentara Padri di Sulit Air terbunuh dalam satu pertempuran pada 5 September 1822. Â
Pada akhir 1822 dan awal tahun 1823, datanglah bantuan dari Jawa. Raaff  mencoba sekali lagi untuk memantapkan kedudukan Belanda di Tanah Datar dengan merebut Lintau. Dia menyusun rencana besar untuk merebut Lintau dengan menyerang bentengnya di Bukit Marapalam.
Sesudah itu, pasukan Belanda akan menyerbu Limapuluh Kota, termasuk ke Agam, dan kembali ke Danau Singkarak. Dengan demikian, Belanda akan mampu menguasai keempat lembah di Dataran Tinggi Minangkabau. Selama tiga hari yaitu 14-17 April 1823 pecah pertempuran. Kedudukan Kaum Padri di Bukit Marapalam terlalu kuat dan kembali memukul mundur pasukan Belanda.
Sulit menemukan berapa jumlah korban dalam pertempuran di pihak Belanda secara detail dalam pertemuran selama April 1823 di Tanah Datar. Sumber Belanda hanya mengakui kehilangan sejumah perwira, di antaranya Letnan Dua arteleri P.H Marinus terbunuh 14 April 1823, disusul Letnan Dua Infrantri J.L.C. van Panhuis, Â 17 April 1823 di Marapalam dan Letnan Satu Infantri J.J. Le Febre pada 21 April 1823.
Pertempuran sengit  terjadi hingga akhir 1823. Pada 22 Desember 1823, giliran kapten infanteri J.M de Liser tewas pada pertempuran dengan Kaum Padri di Tanah Datar.
Sementara pada 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff. Namun itu tidak berpengaruh banyak, bahkan  pada 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.