Menurut Imron lagi, sebutan "janda", tanpa memandang peringkat kelas sosial, adalah aib. Beragam stigma ditimpakan kepadanya oleh masyarakat yang menganggap tempat perempuan yang "terbaik" adalah di samping suami. Bersamanya beban sosial ditimpakan.
Janda karena cerai hidup atau cerai mati, beban sosialnya sama berat. Tanpa pernah mau melihat berbagai faktor penyebab dan kondisi perempuan menjanda, masyarakat cenderung menghakimi dan memberikan label buruk secara sepihak kepada para janda.
Tidak heran banyak perempuan mati-matian bertahan dalam perkawinannya meskipun mengalami kekerasan luar biasa. Bahkan para perempuan rela bertahan dalam perkawinan dengan penuh darah karena suami mereka suka memukul hingga babak belur, hanya karena para istri merasa tidak sanggup menyandang status janda.
Imron juga menggugat stereotipe janda dan duda ini dapat diamati dari ukuran cepat lambatnya menikah kembali antara janda dan duda. Â Bila seorang janda itu cepat menikah kembali dan mendahului mantan suaminya dalam memperoleh jodoh untuk yang kedua kalinya seringkali juga hal ini dianggap sesuatu yang tidak wajar.
Jika itu dilakukan, maka seorang janda itu janda yang genit, sundal dan segudang predikat negatif lainnya. Tetapi sebaliknya bila mantan suaminya yang lebih dahulu menikah, hal ini dianggap wajar dan lumrah oleh masyarakat.
"Pada hal sebenarnya cepat-lambatnya menikah kembali itu tidak selalu ada kaitannya dengan kegenitan seseorang, semua ini sangat terkait dengan masalah jodoh seseorang," kata Imron dalam tulisannya.
Pertanyaannya, predikat yang sebangun tidak disandangkan pada duda? Bukankah juga ada duda yang nakal? Â Saya kira karena konstrusi yang juga dilakukan media massa entah melalui surat kabar cetak (sekarang online atau daring), televisi hingga film bahwa janda dalam konotasi negatif lebih "menjual", sama juga dengan istilahnya pelakor (perebut laki orang) yang selalu disalahkan perempuannya.Â
Apakah ini terkait budaya patriaki? Bisa jadi. Namun satu-satunya jalan bagi perempuan pada umumnya dan janda khususnya, tidak saja mengakses pendidikan, tetapi juga mandiri secara ekonomi  hi tidak bergantung pada laki-laki, seperti yang disuarakan pelopor emansipasi seperti Rohana Kudus.
Pertanyaannya, apakah itu berarti perempuan bisa membalikkan keadaan dengan mendorong laki-laki ke belakang? Oh, tidak. Isu itu sudah dibicarakan pada awal 1950-an dan sudah dijawab oleh seeorang penulis dan jurnalis Nilakusuma dalam Pikiran Rakjat 11 September 1950.
"Perempuan hanya meminta duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan saling menghargai di dalam masyarakat baik sebagai kawan maupun sebagai suami istri." Â
Irvan Sjafari