Sementara itu, Sultan Taha dan pendukungnya menyingkir ke Dataran Tinggi Padang, tetap berkuasa dengan para pendukungnya di pedalaman dan menetap di Muara Tambesi dan menguasai Batang Hari Ulu. Di bekas kraton Belanda mendirikan sebuah benteng. Paman Sultan Taha, Ahmad Nazaruddin diangat jadi sultan dan menandatangani perjajian dengan Belanda.
Pada 1876 Perhimpunan Geografi Kerajaan Belanda atau KoninklijkNederlandsAardrijkskundig Genootschap (KNAG) melakukan survei mengenai kelayakan sungai Batang Hari dilayari dari Gassing yang terletak di Hulu Batang Hari hingga ke Hilir Batang Hari. Hal ini dilakukan untuk mengeksplorasi jalur transportasi lain bagi kepentingan angkutan Batu Baradari Ombilin.
Berdasarkan penelitian de Grave, pemerintah Belanda menjadi yakin batubara di sekitar Sawahlunto sangat menguntungkan untuk dieksploitasi. Hasil penelitian de Groot dan de Greve itu diperkuat lagi oleh laporan P. van Diest satu tahun kemudian tentang kualitas batubara Ombilin yang tinggi.
Penyelidikan dilanjutkan kemudian dengan lebih intensif oleh pemerintah kolonial, kali ini dilakukan oleh R.D.M. Verbeek pada 1875, yang dari ekspedisinya menyimpulkan bahwa terdapat cadangan batubara sebanyak 205 ton di bawah tanah yang tersebar di Sungai Durian, Sigakut, Lapangan Sugar, Tanah Hitam, dan Perambahan seluruh kawasan yang menjadi bagian dari Kota Sawahlunto kemudian.
Pemberontakan 1885
Jambi menjadi prospektif, strategis secara ekonomi. Masalahnya Belanda belum aman di Jambi. Masih ada Sultan Thaha di pedalaman. Pada Mei 1885 meletus insiden "amok" di societet (klab tempat berkumpulnya orang kaya Belanda), dua orang Belanda (Petugas Kesehatan, Dr. Heycop ten Ham terbunuh dan Letnan Dua Buenink tewas karena luka-lukanya) dan seorang pribumi tewas dalam keributan itu.
Pimpinan perlawanan yang paling utama dalah Raden Anom, belakangan diketahui pada 1880 menghimpun persenjataan untuk Sultan Thaha. Pada Agustus 1885 Raden Anom menyerbu garnizun Belanda, tetapi serangannya gagal dan bentrokan bersenjata lain terjadi berapa tempat.
Pada malam 1 dan 2 Oktober, tentara Jambi membakar cadangan batu bara Belanda. Pasukan Belanda dengan kapal uap MS Soembing melemparkan granat ke Sungai Asam untuk memukul pemberontakan. Namun muncul rombongan yang dipimpin Raden Anom melepaskan sejumlah tembakan meriam. Dari cadangan batu bara tersebut, sebanyak 230.000 kilogram hilang.
Pada 4 Oktober,MS Soembing menembakkan 20 granat hanya dari jarak 16 dan 12 meter. Namun Jambi belum takluk. Pada 26 Oktober, tiba berita bahwa sebuah kapal penjelajah yang ditempatkan di sana telah diambil oleh empat pembajak di Saba.
Letnan 1 A.P. Tadema, Panglima MS Soembing, segera mengirimkan kapal pemerintah, Sampit, yang dikapteni oleh L.J.C. Cocheret de la Moriniere, dan sekoci bersenjata, di bawah komando Letnan 2 kelas C. Beels.