Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setiap Hari Bisa Bantu UMKM, Kok?

19 Desember 2020   20:51 Diperbarui: 19 Desember 2020   20:53 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan Ahmad, seorang tukang sate ayam di Jalan Sabang sebelum pandemi. Saya suka jajan di sini sepulang dari Perpustakaan Nasional Medan Merdeka Selatan. Ahmad ini alumni UIN Jakarta dan punya daya juang yang patut diapresiasi-Foto: Irvan Sjafari.

Kalau di Bandung saya suka pasti berburu lontong kari kaki lima, sate sapi  atau paling tinggi makan di resto yang harganya Rp25 ribu atau berdua Rp100 ribuan atau Chingu Cafe, restoran Pasta, Nasi Goreng mafia  atau resto yang unik benar dan   yang saya saya tahu mereka UKM. 

Untuk camilan yang saya cari ialah buatan UMKM, entah itu teh thailand homemade, ya pasti Say Tea brand kepunyaan rekan kerja saya dulu di Bandung. Sayang saya kehilangan Ayam Goreng Merdeka, kaki lima yang hilang ditelan derap pembangunan. Padahal rasanya enak.

Seingat saya sejak lima-enam tahun terakhir selama main di Bandung, hanya sekali makan di resto cepat saji, itu pun karena harus wawancara Yura Yunita. Kalau tidak buat apa? Toh, resto itu ada di Jakarta.

Sayang ada pandemi, Bandung masuk zona merah. Hingga setahun ini tidak pernah ke Bandung. Lagipula "kawan seperjalanan" saya dari Pangandaran, tidak ke sana juga, ya tambah malas.  Padahal sudah ada daftarnya nih, UKM Kuliner yang akan disinggahi dan UMKM kerajinan hingga distro yang saya mau buru. Ya, nabung dulu tentunya.

Kalau lagi tugas di luar kota, ya, saya cari kulinernya dulu. Tentunya unik dan nggak ada di kota lain. Begitu juga belanja pakaian, prioritas kaki lima.

Ya, sudah untuk promosi, Saya kerja di sebuah media online tentang wirausaha dan koperasi di mana untuk rubrik wirausaha 80% di antaranya usaha kecil dan mikro bahkan ada super mikro. Sisanya yang menengah.  Ulasan saya kuliner di Kompasiana, ya kebanyakan UMKM juga. Di Kompasiana ada ulasan berapa pelaku UMKM yang saya suka.

Belanja daring, sekali-sekali saya lakukan. Tentunya pelaku UKM, namun ada kendala biaya pengiriman kerap besar tidak sebanding dengan biaya produknya. Misalnya harga Rp300 ribu, tetapi biaya kirim sampai Rp100 ribu di sinilah UKM jadi kurang efesien menurut saya.

Kecuali kalau dalam jumlah besar bukan "ketengan". Khusus untuk kuliner masih ditambah kalau itu antar kota, bisa tahan lama atau dipak dengan sistem frozen.

Terkait UKM ada yang menarik dari riset yang dilakukan konsultan marketing MarkPlus yang dirilis pada Jumat 18 Desember lalu bahwa UMKM terbebani biaya promosi dan juga membutuhkan pembelajaran soft skill terutama terkait copy writing.

Dalam survei ditemukan UMKM sudah mulai masuk online sebanyak 97% dan 3% yang masih belum masuk ke daring. Sementara sebanyak 4% mengirimkan lebih dari 1.000 paket per bulannya, 6% sebanyak 500 - 1.000 paket, 11% sebanyak 250 - 500 paket per bulan dan  79% di bawah 250 paket.

Menurut Head of Automotive Transportation and Logistics Industry dari Markplus Inc Nadia Prasetyo UMKM juga mengalami kendala pelanggannya mengalami penurunan pendapatan  atau daya beli. Dari segi marketing, biaya promosi lebih sering dibanding masa sebelum pandemi. Berpromosi pun kebingungan soal koten dan saluran marketing yang sesuai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun