Jujur saya tidak kenal Generasi Sandwich atau "sandwich generation" dan baru tahu ketika Kompasiana menjadikan topik pilihan. Istilah ini merupakan sebutan bagi generasi yang terhimpit/terjepit di tengah karena harus mengurus anak dan orang tuanya.Â
Lalu saya googling, ternyata istilah "sandwich generation" pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller dan Elaine Brody pada1981. Awalnya istilah itu merujuk pada kaum wanita di umur 30-an sampai 40-an yang selain harus merawat anak-anak mereka juga masih harus memenuhi kebutuhan orangtua mereka.
Kok aneh? Kok baru sekarang dipersoalkan? Biasanya di lingkungan keluarga Indonesia. Ibu saya cerita kakek tinggal bersama salah satu kakaknya yang juga memelihara anak dan tidak merasa itu beban, secara finansial. Â Ya, memang mereka golongan orang berada.
Tetapi  di tengah rakyat kebanyakan memelihara orangtua tidak dirasakan beban, malah senang anaknya ditunggu nenek dan kakeknya, sementara mereka berdua kerja. Apalagi kakek dan neneknya memang tidak bisa bekerja lagi, tetapi ada juga yang dapat pensiun.
Apalagi kalau hanya tinggal nenek atau kakek, memang riskan meninggalkannya dan menurut saya mengirimnya ke pantai werda adalah memalukan bagi "kultur timur", kecuali kalau harus tinggal di luar negeri yang sulit membawa orangtua secara finansial atau iklimnya tidak cocok untuk orangtua ddari daerah tropis.
Bagi muslim seperti saya sudah ditanamkan bahwa mengabaikan orangtua (apalagi membuang) akan berakibat tidak baik, seperti cerita Malin Kundang. Â Saya percaya itu. Saya tidak mengkuliahi teman-teman Kompasianer yang beragam ini. Cari tahu saja mengapa Islam melarang anak mengabaikan orangtua. Â
Lagian tipikal keluarga Indonesia anak dari generasi sebelumnya banyak bisa lima orang bahkan sepuluh. Sekarang saja 1-2. Ya, gantian saja memelihara ibunya atau yang kaya membantu finansial saudara yang mau memelihara ibunya. Mungkin ada satu atau dua yang merasa repot, tetapi kan ada yang nggak.
Percayalah, kekuatan orang Indonesia atau Timur adalah guyub. Karena ramai-ramai itu berbagai persoalan bisa diselesaikan.  Jadi saya bingung pada  cerita sinetron "yang kumenangis itu", masa ada istri yang ditindas, nggak ada saudaranya yang lain, nggak ada temannya, lalu nggak ada ibunya. Masa semua yatim piatu.
Begitu juga ibu yang diusir anak dan menantunya, nggak ada saudara yang lain? Mungkin anak tunggal, tetapi ibunya kan juga punya saudara? Kekerabatan Indonesia itu kaum bukan keluarga batih saja.
Lalu RT dan RW diam saja? Orang Indonesia tulen itu "kepo" atau selalu ingin tahu urusan orang. Â Kecuali di kalangan golongan menengah yang sudah westernisasi memang "cuek". Atau saya yang salah kaprah dengan westerinisasi, menurut cerita teman orang Barat itu kerap lebih humanis? Mungkin kalangan tertentu saja yang merasa orangtua itu beban. Jadi sepertinye keluahan "Sandwich Generation" ini nyaris sebangun dengan sinetron Indonesia.
Bagi saya memelihara ayah atau ibu yang sudah tua  sekaligus anak itu wajib, terutama berdasarkan iman saya yang muslim.  Mau orangtua itu ada pensiun atau asuransi, nggak ada alasan. Jujur saya mencurigai isu "Sandwich Generation" itu ditunggangi perusahaan asuransi atau sejenisnya. Orang dulu selamat-selamat saja tanpa asuransi, karena percaya dengan kekuatan guyub.
Jadi "Sandwich Generation"? Kalau saya sih No! (menirukan istilah Anang Hermansyah dalam ajang pencarian bakat).  Mudah-mudahan nggak jadi fenomena luas di Indonesia sampai kapan pun dan masih banyak milenial memelihara anak sekaligus  orangtua adalah kewajiban.
Irvan Sjafari   Â
Referensi:Â cosmopolitan.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H