Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Minuman Beralkohol

17 November 2020   00:31 Diperbarui: 17 November 2020   01:36 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto: PIkiran Rakyat.

Susah juga bersikap terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol. Sampai saat ini saya belum punya solusi harus bagaimana mencari jalan tengahnya. Baru kira-kira saja.

Di satu pihak keberadaan RUU itu karena aspirasi (sebagian) masyarakat yang gerah dengan orang mabuk, kemudian memicu berbuat kriminal, menganggu ketertiban, melakukan penganiayaan, memperkosa dan sebagainya. Saya khawatir dengan alasan mabuk, pelaku penembakan dapat keringanan hukuman, tergantung siapa yang menembak? (mudah-mudahan tidak ada kasus itu)

Saya juga pernah terganggu orang mabuk meminta uang dan mendenguskan bau nafas alkohol agar orang takut. Ngamen mabuk, Itu mabuk buat nakut-nakutin orang. 

Melapor ke polisi malas, karena uang yang dipalak Rp2.000 dan bukankah polisi harus menindak mereka tanpa harus melapor? Bukan soal jumlah  uangnya, tetapi dimintai dengan cara menyakiti, ya, tidak ridho.

Masa penegak hukum nggak ada intelnya, ada orang nongkrong tidak tahu dan sering? Tapi itu berapa tahun yang silam. Belum saya temui lagi.

Itu saya pribadi ya. Sekalipun kalau tahu ada wilayah tempat orang suka mabuk, saya menghindar saja. Untungnya di Jakarta saat ini saya tidak pernah melewati kawasan orang mabok lagi.

Alasan lain, aspirasi umat musilm bahwa minuman khamar jelas diharamkan karena mudarat juga jadi alasan. Saya juga paham. Terutama bagi yang diberi amanah. Sebab dalam iman, ada yang beranggapan kalau punya kekuasaan tidak berbuat, maka yang punya kuasa itu dimintai pertanggungjawaban berat di akherat karena tidak berbuat, padahal mampu.

Di sisi lain saya juga paham bahwa larangan minuman alkohol itu juga terkait dengan agama lain dan adat istiadat. Itu juga akan terkait dengan UKM yang membuat minuman itu, seperti di Bali. Belum lagi untuk kepentingan pariwisata.

Saya juga paham kalau UU itu jadi, dampaknya bagi pariwisata Bali akan seperti apa.  Sekarang saja karena pandemi, pertumbuhan ekonominya kontraksinya termasuk yang terbesar.

Saya sendiri seumur hidup hanya sekali meneguk minuman keras, itu karena saya mengalami kecelakaan waktu hiking menyusul adik-adik kelas PMR di SMA,  jatuh masuk sungai malam hari. Sekelompok pencinta alam menolong dengan menegukan minuman keras kalau tidak salah untuk menghangatkan tubuh karena pakaian saya harus dibuka total untuk menecegah hippotermia. Baru bisa ganti baju.

Jadi ada alasan lain, keberadaan minuman beralkohol juga penting untuk kasus tertentu. Kalau berada di daerah dingin dengan hujan yang deras. Tentunya juga kalau jadi kebiasaan berakibat buruk bagi kesehata.

Bagaimana, solusinya, kan sasaran yang mau  ditembak adalah penyalahgunaan minuman keras itu yang merugikan orang lain. Penengakan hukum sampai saat ini tampaknya belum jalan.  Memang beli miras atau minuman beralkhol dimintai KTP-nya biar nggak dibeli anak di bawah umur. Nah, yang terjadi orang dewasa disuruh beli (dan mau saja) buat anak-anak "alay" mabuk.

Kadang saya bertanya, apa sih enaknya mabuk? Pelarian masalah dengan menambah masalah lain, seperti efek kesehatan? Pergaulan, oke saja kalau itu di tempat privasi bukan di tempat umum.  Saya pernah ada di kantor kawan yang para tamunya dijamu dengan bir. Saya nggak minum dan mereka menghormati. Saya juga menghormati mereka.

Jadi urus saja moral sendiri-sendiri, okelah, asal jangan menganggu yang tidak mau mabuk. Apalagi mabuk di tempat umum bahkan di kawasan orang yang tidak suka dengan orang mabuk. 

Bagaimana dengan menggunakan minuman keras untuk berbuat atau karena minuman keras jadi berbuat kriminal? Iya, kalau keberatan dengan RUU Larangan Minuman Keras itu. Pihak yang menentang mencari solusi: cari cara lewat UU lain untuk perberat hukuman bagi kriminal yang mabuk atau diberi sangsi berat bagi yang memberikan minuman keras bagi orang yang tidak berhak, misalnya anak di bawah umur.

Lalu bagaimana menindak minuman oplosan, apa ada regulasi lain yang bisa digunakan? Saya bukan orang hukum. Makanya bagi para penentang RUU itu tunjukan caranya menindak beliau-beliau ini. Saya tidak hitam putih menilai orang mabuk. Kalau dia sendiri yang terkena akibatnya. Moral emang relatif: tetapi kalau berbuat kriminal lain cerita.

Mungkin juga ada "win-win solution", Perda Larangan Minuman Keras untuk daerah tertentu bisa dibuat dan jangan dicabut oleh Kemendagri atau diganggu pihak lain. Kalau perlu diperkuat.

Tahu sama tahu saja. Sekalipun mungkin berdampak bagi pariwisata daerah itu: Ya, sudah terima saja, pengambil keputusan di daerah tersebut tahu kok risikonya.  Saya lebih suka  cara ini sebagai kompromi ketimbang UU yang mengikat secara nasional.  Sebab keberadaan minuman keras boleh jadi kearifan lokal di satu daerah, tetapi di daerah lain justru bertentangan.  Iya, jadi daerah yang larang dan ada yang tidak.

Bagaimana dengan daerah seperti Jakarta yang plural, kriminalitasnya karena minuman keras juga nggak bisa dianggap sepele dan banyak anak "nongkrong" yang mabuk membuat resah?  Apa tempat penjualan minuman kerasnya dibatasi, tidak di minimarket atau pasar swalayan yang bisa diakses sembarangan orang dengan mudah?

Jual saja di pub, kafe, hotel berbintang, tempat yang diberi tanda. Untuk kepentingan wisata atau pihak yang memerlukan alkohol untuk kepentingan ritual, privasi atau apa kek yang nggak kriminal bisa ke sana. Yang menjual akan lebih mengindetifikasi siapa yang beli dan ikut bertanggungjawab.

Kalau ada kasus kriminal karena mabuk, tinggal cari tahu di mana mereka peroleh minuman keras dan tempat yang jual ditenda karena menyalahi kepercayaan atau dicabut "kepercayaan" itu. Kalau beli oplosan ya, harus ditindak lebih keras, sudah kriminal, ilegal lagi. Yang buat oplosan harus ditindak. Nggak ada alasan karena nganggur, jual oplosan. Banyak yang menganggur, tetapi cari kerja baik-baik, seperti pelaku UKM dan mereka sabar.

Kira-kira begitu padangan saya, sekadar meramaikan tantangan Kompasiana dengan Topik Pilihannya. Kalau ada salah kata dan keliru terbuka untuk dikritik. Maaf kalau banyak pakai bahasa tidak baku untuk tulisan ini. 

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun